Mohon tunggu...
Deny Tri Basuki
Deny Tri Basuki Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pengelana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendung di Atas Sungai Tigris

21 Agustus 2014   22:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:56 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408609765460009184

“Abbas mencintaimu, Wafa.” Umi membisikinya. “Dia mengatakannya pada Majeed, lalu Majeed menyampaikannya pada Umi, dan Umi menyampaikannya pada Abi. Dan akhirnya…Abi menanyakan keseriusan cinta Abbas padamu dengan pernikahan ini”

Mata Wafa berkaca-kaca. Apalagi saat Abbas memberinya maskawin berupa sebuah cincin emas peninggalan almarhumah ibunya, dan nyanyian khusus untuknya berjudul Ana Lak Alatool , aku milikmu selamanya.....

Ambillah jiwaku
Dan hiduplah bersamaku selamanya
Tanyakanlah padaku
Mengapa sejak pertama
Kau membuatku terbangun dari tidur
Sampaikanlah salam padaku
Atau katakanlah sembarang kata
Dari hatimu atau dari lubuk hatimu
Tak ada larangan untuk terjaga atau tertidur
........dari bara api cintamu

Dan malam itu, Wafa menyerahkan kepundan cintanya untuk Abbas. Magmanya bergolak dengan panasnya. Menggetarkan bumi dan surganya. Mendesiskan letupan asap birahi dari bara hasrat purba yang memuncak, membuncah bersama lelehan hangat lava kehidupan.....dan setelah itu, senyap dalam rasa syukur pada penciptaan padang pertemuan Adam dan Hawa......

***

Di bataran sungai itu, Abbas termenung. Sekilas dipandangnya Wafa yang juga tercenung dalam gundah. Sepucuk surat dari Abang datang sebulan lalu menambah beban pikirannya. Mengabarkan kondisi Ayah yang sakit semakin parah, dan lelaki renta itu mengharapkan Abbas segera pulang agar ia dapat mewujudkan niatnya menikahkan dirinya dengan Fatma, anak sahabatnya. Ya, itulah satu-satunya harapan terakhir Ayah sebelum meninggal, tulis Abang di surat itu.

Abbas menghela napas dalam. Dia memang menyayangi Fatma, namun tak lebih dari perasaan kepada seorang adik, sementara Ayah Fatma, Kiai Abdul Hakim sangat berharap dirinya bisa menjadi menantunya untuk meneruskan memimpin pesantren.

Surat itu membuat situasi menjadi semakin rumit bagi Abbas. Ya, Abbas semakin terpojok pada dua pilihan hidup. Cintanya pada Wafa dalam situasi negaranya yang tercabik perang, atau kewajibannya pada janji ayah untuk menikahi wanita yang tidak dicintainya.

Semua keputusan pasti disertai tanggung jawab akan akibat yang muncul kemudian. Sanggupkah dia memegang konskuensi atas keputusannya ini? Abbas menggigit bibir. Ia benar-benar seakan berdiri pada tubir jurang kebingungan dan takut akan ketidakpastian. Sebuah ketakutan yang manusiawi. Karena soalnya adalah hidup itu mudah. Ketakutan pada diri sendirilah yang membuatnya menjadi susah.

Sore ini, dilihatnya gelayut awan hitam berarak cepat dari ujung Sahara menuju ke arah tenggara. Lembayung di atas Tigris hilang tersaput kesedihan hati Abbas.

Angin musim panas seharusnya mematangkan kurma-kurma di hamparan padang di tepian timur sungai, tapi tidak untuk kali ini. Ya, bahkan tak ada kembang muda kurma lagi yang hadir sebagai pertanda harapan hari ini masih ada untuk esok pagi, saat mereka datang mekar merekah bersama datangnya sinar mentari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun