Mohon tunggu...
Deny Tri Basuki
Deny Tri Basuki Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang pengelana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mendung di Atas Sungai Tigris

21 Agustus 2014   22:34 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:56 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1408609765460009184

“Quzi, ya moallem!” teriak Abbas pada pelayan. Dia telah putuskan memilih itu sebagai makan siangnya. Sempat sebelumnya ia terpikir untuk memilih seporsi masgouf, yang sangat khas Irak, karena hanya dimasak dengan ikan dari sungai Tigris, tetapi wangi kukusan daging kambing lebih menggoda seleranya.

Mat’am Saleem ini merupakan satu restoran kecil kesukaan Abbas. Restoran ini lumayan bersih, berdempetan dengan restoran dan warung makan lain juga kios souvenir dan toko buah. Semuanya berjejer dengan rapi di tepian sungai dengan air yang sungguh tenang, sehingga selalu terasa sejuk walau siang itu Baghdad berada pada posisi putaran bumi yang panas terik.

Wafa yang duduk manis di samping Abbas masih terdiam. Kepalanya menunduk. Barangkali ia menunggu tawaran dari Abbas.

“Fattoush wa maqluba, habibty?” Abbas bertanya dengan lembut sambil menggenggam tangan halus perempuan itu. Sejuta cinta dari sinar mata Abbas jelas terpancar hanya untuk perempuan di sampingnya.

Wafa mengangkat wajahnya perlahan. Ia menatap Abbas dengan tatap lembut, matanya yang indah khas perempuan Timur Tengah pun berkedip indah, lembut, itulah tanda jawabannya sebagai kata ‘ya’.

Abbas pun menambahkan satu lagi pesanannya, dengan tambahan minuman chay bi na’na, teh manis panas dengan daun mint.

Kini sambil menanti pesanan datang, Abbas hanya bisa merenung, memikirkan Wafa, yang duduk di sampingnya, belum juga mau mengucapkan sepatah kata pun padanya, sejak malam tadi. Entahlah, barangkali perempuan itu masih sedih, setelah semalam Abbas menyampaikan rencana kepulangannya ke Indonesia.

Baghdad memang sungguh tidak bersahabat bagi Abbas dalam situasi perang seperti ini. Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar di Amman, Yordania, sudah memperingatkannya agar segera meninggalkan kota yang sudah mulai hancur akibat perang.

Beasiswa untuknya pun sudah lama berhenti sejak akhir tahun lalu, jadi ia pun bingung memikirkan bagaimana nasib kuliahnya kelak di Baghdad University yang sesungguhnya baru akan berakhir dua semester ke depan.

Hidup di Baghdad bagi orang asing dan Sunni seperti Abbas, memang bukan hal yang mudah. Ancaman selalu datang tiap hari. Pertikaian Syi’ah-Sunni sudah membuncah bagai air bah yang tak tertahankan. Semakin hari posisi kaum Sunni semakin terdesak oleh dominasi baru kaum Syi’ah dan terjebak dalam euphoria kemenangan atas jatuhnya Saddam Hussein oleh tangan Pasukan Multinasional. Perang saudara dan campur tangan asing di negeri Seribu Satu Malam itu nampaknya akan menghancurkan masa depan Abbas, kuliahnya dan bahkan mengancam perjalanan cintanya dengan Wafa yang amat dicintainya itu.

Pesanan telah terhidang. Abbas dan perempuan itu terus makan walau diam tanpa kata, tak seperti biasanya mereka akan makan disertai perbincangan kecil yang penuh kemesraan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun