Paman Wafa, Waleed dan bibi, juga sudah datang dari Falujah. Bahkan datang juga beberapa keluarga dari Ramadi.
Sepupu kesayangan Wafa, Ameera, juga datang. Ia sungguh tampak cantik dengan abaya warna marun dan tak henti mencium pipi Wafa.
“Selamat, Wafa! Aku gembira, bila kamu bahagia.”
Wafa tak mengerti mengapa Ameera mengucapkan sedemikian.
Umi sudah berada di belakang Wafa tanpa sepengetahuannya. Ia membimbing Wafa ke arah kamar, berbisik sambil mengusap punggungnya dengan lembut.
”Mari sayangku, Umi bantu kau ganti bajumu dengan abaya putih. Ini abaya peninggalan nenekmu. Abaya ini sangat nyaman dan Umi pakai waktu menikah dengan Abi.”
Deg! Hati Wafa terkejut mendengarnya. Ada apa ini? Pikirnya tak habis mengerti. Mengapa Umi bicara soal ‘menikah’?
Menyadari kekagetan anaknya, Umi hanya tersenyum dan mengangguk.
Wafa masih tampak bingung melihat Umi tampak bahagia sekali. Namun ia yakin benar jika Umi bahagia, pasti ada sesuatu yang akan membuatnya bahagia juga, karena bagaimana pun bahagia Umi adalah bahagianya, dan begitu sebaliknya. Ya, Umi adalah matahari mereka. Kehangatannya, sinarnya bahkan teriknya pun adalah kehidupan keluarga besar ini.
Malamnya, dibalik hijab kamar, Wafa melihat Abi melakukan ijab kabul pernikahannya dengan Abbas. Ya, Abbas didampingi kerabatnya sebagai saksi.
Hati Wafa bercampur-baur saat itu, antara kaget, bahagia dan bingung.....tapi nuraninya tak sedikitpun ingin memberontak.