Maka, menurut sila ke-4 tolok ukur kebenaran adalah al-hikmah (ilmu) dan kebijaksanaan (wisdom), bukan suara terbanyak (voting). Sementara, pilar-pilar negeri ini ditentukan oleh suara mayoritas - suara massa yang umumnya bodoh, lalim, dan fasik - yang merupakan lawan dari hikmah-kebijaksanaan.Â
Hikmah-kebijaksanaan bukanlah  milik massa, melainkan milik orang-orang terpilih: elite yang berintegritas, minoritas kreatif.Â
Elite yang berkuasa justeru adalah para mutrafin: kaum kaya yang hidupnya mewah berlebihan, yang berkongkalingkong dengan politisi, bukan minoritas kreatif dengan integritas ilmu dan amal (ulama dan cendekiawan).Â
Rakyat mesti dipimpin oleh pemimpin yang pro-kepentingan rakyat, bukan kepentingan para mutrafin, para kapitalis yang rakus. Para wakil rakyat seharusnya adalah orang-orang populis yang memihak kepentingan rakyat. Para wakil rakyat itu semestinya pula adalah orang-orang bijak (berilmu, memiliki hikmah) yang tidak serta merta menuruti hawa nafsu orang banyak atau kepentingan sepihak kaum mutrafin.
Wallahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H