Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ayam Goreng Demokrasi

15 September 2024   06:33 Diperbarui: 15 September 2024   07:01 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.pexels.com

Kolonel Sanders, penemu 'resep rahasia' ayam goreng Kentucky, mungkin sama sekali tak menyangka kalau resepnya itu bakal mendunia dan mengalami modifikasi berbagai rupa. Meski diklaim 'rahasia', brand Kentucky Fried Chicken kemudian segera ditiru brand lain dengan produk serupa di Amerika: California Fried Chicken dan Texas Fried Chicken. Selain itu McDonalds yang menjual burger sebagai produk utamanya juga menjual ayam goreng yang modelnya mirip.

Adapun Indonesia sudah punya ayam goreng Mbok Berek dan ayam goreng Ny.Suharti yang juga khas dan berterima di lidah rakyat Indonesia. Akan tetapi Mbok Berek dan Ny. Suharti hanya hadir dalam rupa restoran dan rumah makan besar. Tidak semua rakyat mampu makan atau bahkan 'berani' masuk ke sana. Hal senada berlaku untuk brand ayam bakar lokal semisal ayam bakar Wong Solo.

Karena budaya Amerika begitu memesona, termasuk produk kulinernya, plus kreativitas orang Indonesia dalam mengamati, meniru dan memodifikasi produk luar maka lahirlah 'ayam geprek': ayam goreng berbalut tepung keriting macam ayam Kentucky namun dihajar sampai remuk dan dilumuri bumbu sambal super pedas.

Gerai ayam geprek cukup berupa booth di pinggir jalan yang juga menjual 'produk Amerika' lain seperti cheese burger. Tidak mesti menyajikan Coca cola sebagai minuman ringan, cukup es teh manis sembarang merek.

Fitrah massifikasi budaya Amerika menghendaki modifikasi produk budaya materialnya sampai ke orang kebanyakan. Jadi ayam Kentucky mengalami massifikasi dan menjadi ayam goreng geprek, sementara Mbok Berek, Ny. Suharti dan Wong Solo membidik kelas menengah.

Mirip dengan ayam goreng adalah demokrasi yang juga diimpor dari barat. Indonesia coba menerapkannya dalam wujud demokrasi parlementer antara 1950-1957. Pemilihan umum secara langsung yang benar-benar demokratis hanya terjadi satu kali yakni di tahun 1955. Namun kita tahu, hasil-hasilnya dibatalkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian Indonesia mengalami era Demokrasi Terpimpin yang tidak lain merupakan otoriterisme Sukarno hingga 1965. Pasca Sukarno, Orde Baru mencoba mengoreksi penerapan demokrasi sebelumnya dan tiba pada penerapan Demokrasi Pancasila yang ternyata merupakan demokrasi settingan lewat strategi partai hegemonik dan dwifungsi Tentara.

Kemudian bergulirlah reformasi yang menghendaki pemurnian demokrasi di tahun 1998. Namun setelahnya yang tampak adalah semacam eforia kebebasan yang menggila. Demokrasi hanya mengalami modifikasi dalam perangkat teknis dan prosedurnya, namun tak jua mencapai esensi ideal yang dicita-citakan bagi kesejahteraan bangsa.

Presiden dan wakil rakyat dipilih langsung namun korupsi, politik uang, permainan politik di belakang layar serta berbagai bentuk kecurangan terus terjadi dan belakangan norma-norma hukum bahkan bisa diobrak-abrik dan dijungkirbalikkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikutuk sebagai praktik busuk Orde Baru malah dilakukan lebih terang-terangan dan tanpa rasa malu.

Sebagaimana halnya ayam Kentucky, demokrasi sudah digeprek: dihajar sampai remuk dan dilumuri sambal pedas khas Indonesia. Sudah mengalami massifikasi pula, karena fitrahnya yang katanya mewakili demos.

Rumusan sila keempat Pancasila yang berbunyi 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' adalah produk pemikiran para founding fathers kita. Di situ ada kata 'kerakyatan' (artinya membela kepentingan orang banyak, populis),  'hikmah' (dipimpin oleh ilmu pengetahuan, pikiran, akal sehat), 'kebijaksanaan' (dibimbing nurani dan rasa keadilan), 'permusyawaratan' (musyawarah, diskusi dan perundingan bukan pemungutan suara), 'perwakilan' (oleh wakil-wakil yang bermutu dan memenuhi syarat).

Mengapa wakil rakyat itu tidak terdiri dari para ahli hikmah dan orang-orang bijak? Mengapa mekanismenya selalu berujung pada pungutan suara (voting)? Apakah kebenaran dan kebijaksanaan bisa diukur lewat banyak sedikitnya suara? Bukankah selalu ada kebijaksanaan (wisdom) yang berterima secara universal? Apakah para wakil rakyat itu tidak RORP (rasional-objektif-realistis-proporsional) sehingga selalu menelurkan aturan-aturan yang tidak memerhatikan kebenaran dan keadilan?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, musyawarah berarti pembahasan bersama dengan maksud mencapai  keputusan atas penyelesaian masalah, alias perundingan, alias perembukan. Musyawarah yang merujuk pada kebenaran seharusnya tidak membutuhkan voting. Akan tetapi rupanya para wakil rakyat punya standar kebenaran yang berbeda-beda, karena kebenaran kadang dikaburkan dengan kepentingan. Di situ letak kerepotannya.

Lantas, mekanisme historis apakah yang bisa membalik demokrasi menjadi musyawarah, sesuai rumusan sila keempat Pancasila?

Hikmah kebijaksanaan memang bukan milik orang banyak, melainkan milik orang-orang terpilih. Yang semestinya duduk di dewan perwakilan dan majelis permusyawaratan adalah para ahli di bidangnya. Tidakkah yang sebaiknya duduk di majelis permusyawaratan dan dewan perwakilan itu adalah para alim ulama, cerdik cendekia, para begawan, para pakar, yang integritas moral dan intelektualnya tidak diragukan? Tidakkah bisa permasalahan-permasalahan rakyat dan aneka peraturan strategis itu diputuskan menurut kebenaran, keadilan, kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan hati nurani? Bukan oleh banyak sedikitnya suara atau maunya orang banyak.

Pasalnya, 'demos' seringkali tidak paham kebenaran, hikmah dan kebijaksanaan. Demos juga kerap keliru memilih wakil-wakilnya, lantaran keawaman, tipuan atau bujuk rayu politik uang.

Meski rakyat suka ayam geprek pinggir jalan, nilai inti khas Indonesia ada pada musyawarah yang dipimpin hikmah kebijaksanaan. Para wakil rakyat seharusnya adalah orang-orang populis yang memihak kepentingan rakyat. Para wakil rakyat itu semestinya pula adalah orang-orang bijak yang tidak serta merta menuruti hawa nafsu orang banyak. Apalagi, pesanan sepihak segelintir oknum/sponsor.

Wallahu a'lam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun