Mohon tunggu...
DENY FIRMANSYAH
DENY FIRMANSYAH Mohon Tunggu... Penulis - Manusia

Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ayam Goreng Demokrasi

15 September 2024   06:33 Diperbarui: 10 November 2024   17:20 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: www.pexels.com

Kolonel Sanders, penemu 'resep rahasia' ayam goreng Kentucky, mungkin sama sekali tak menyangka kalau resepnya itu bakal mendunia dan mengalami modifikasi berbagai rupa. Meski diklaim 'rahasia', brand Kentucky Fried Chicken kemudian segera ditiru brand lain di Amerika: California Fried Chicken dan Texas Fried Chicken. Selain itu McDonalds yang menjual burger sebagai produk utamanya juga menjual ayam goreng yang modelnya mirip.

Adapun Indonesia sudah punya ayam goreng Mbok Berek dan ayam goreng Ny.Suharti yang juga khas dan berterima di lidah rakyat Indonesia. Akan tetapi Mbok Berek dan Ny. Suharti hanya hadir dalam wujud restoran dan rumah makan besar. Tidak semua rakyat mampu makan atau bahkan 'berani' masuk ke sana. Hal senada berlaku untuk brand ayam bakar lokal semisal ayam bakar Wong Solo.

Karena budaya Amerika begitu memesona, termasuk produk kulinernya, plus kreativitas orang Indonesia dalam mengamati, meniru dan memodifikasi produk luar maka lahirlah 'ayam geprek': ayam goreng berbalut tepung keriting macam ayam Kentucky namun dihajar sampai remuk dan dilumuri bumbu sambal super pedas.

Gerai ayam geprek cukup berupa booth di pinggir jalan yang juga menjual 'produk Amerika' lain seperti cheese burger. Tidak mesti menyajikan Coca cola sebagai minuman ringan, cukup es teh manis sembarang merek.

Fitrah massifikasi budaya Amerika menghendaki modifikasi produk budaya materialnya sampai ke orang kebanyakan. Jadi ayam Kentucky mengalami massifikasi dan menjadi ayam goreng geprek, sementara Mbok Berek, Ny. Suharti dan Wong Solo membidik kelas menengah.

Mirip dengan ayam goreng adalah demokrasi yang juga diimpor dari barat. Indonesia coba menerapkannya dalam wujud demokrasi parlementer antara 1950-1957. Pemilihan umum secara langsung yang benar-benar demokratis hanya terjadi satu kali yakni di tahun 1955. Namun kita tahu, hasil-hasilnya dibatalkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kemudian Indonesia mengalami era Demokrasi Terpimpin yang tidak lain merupakan otoriterisme Sukarno hingga 1965. Pasca Sukarno, Orde Baru mencoba mengoreksi penerapan demokrasi sebelumnya dan tiba pada penerapan Demokrasi Pancasila yang ternyata merupakan demokrasi settingan lewat strategi partai hegemonik dan dwifungsi Tentara.

Kemudian bergulirlah reformasi yang menghendaki pemurnian demokrasi di tahun 1998. Namun setelahnya yang tampak adalah semacam eforia kebebasan yang menggila. Demokrasi hanya mengalami modifikasi dalam perangkat teknis dan prosedurnya, namun tak jua mencapai esensi ideal yang dicita-citakan bagi kesejahteraan bangsa.

Presiden dan wakil rakyat dipilih langsung namun korupsi, politik uang, permainan politik di belakang layar serta berbagai bentuk kecurangan terus terjadi dan belakangan norma-norma hukum bahkan bisa diobrak-abrik dan dijungkirbalikkan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang dikutuk sebagai praktik busuk Orde Baru malah dilakukan lebih terang-terangan dan tanpa rasa malu.

Sebagaimana halnya ayam Kentucky, demokrasi sudah digeprek: dihajar sampai remuk dan dilumuri sambal pedas khas Indonesia. Sudah mengalami massifikasi pula, karena fitrahnya yang katanya mewakili demos.

Rumusan sila keempat Pancasila yang berbunyi 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan' adalah produk pemikiran para founding fathers kita. Di situ ada kata 'kerakyatan' (artinya membela kepentingan orang banyak, populis),  'hikmah' (dipimpin oleh ilmu pengetahuan, pikiran, akal sehat), 'kebijaksanaan' (dibimbing nurani dan rasa keadilan), 'permusyawaratan' (musyawarah, diskusi dan perundingan bukan pemungutan suara), 'perwakilan' (oleh wakil-wakil yang bermutu dan memenuhi syarat).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun