Mohon tunggu...
Den Reza Alfian Farid
Den Reza Alfian Farid Mohon Tunggu... Lainnya - Digital Marketer

Terkadang ku lupa pernah berpikir apa.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Melacak Akar Kebahagiaan: Apa Sebenarnya yang Membuat Kita Bahagia?

26 Juli 2023   19:00 Diperbarui: 26 Juli 2023   19:10 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Hiki App on Unsplash 

Menyelami makna kebahagiaan: sebuah perjalanan memahami apa yang membuat hidup penuh warna.

Pernahkah merenung dalam diam dan bertanya, 'Apa sebenarnya yang membuat bahagia?' Kebahagiaan, sebuah kata yang sering kita dengar, sering kita ucapkan, tapi jarang kita pahami. Ah, bukan, bukan tentang definisi di kamus atau penjelasan ilmiah di buku-buku. Tapi tentang makna, tentang esensi, tentang inti dari kebahagiaan itu sendiri. Mari kita bersama-sama mengupas tuntas, melacak akar dari kebahagiaan.

Membongkar Rahasia di Balik Kebahagiaan

Baca juga: Bagaimana

Kebahagiaan, sebuah kata yang sederhana tapi kompleks. Bukan soal kemewahan, bukan soal harta benda, dan jangan salah, bukan soal jumlah followers di media sosial. Kebahagiaan adalah tentang perasaan. Mungkin terdengar klise, tapi itulah kenyataannya.

Riset terbaru dalam psikologi positif membuktikan bahwa kebahagiaan sejati datang dari dalam diri, bukan dari luar. Itu berarti, memburu barang-barang berharga atau memacu adrenalin untuk mendapatkan likes dan komentar di Instagram bukanlah jalan menuju kebahagiaan sejati.

Cobalah lihat sekeliling. Perhatikan orang-orang yang tampak bahagia. Apakah kebahagiaan mereka berasal dari mobil mewah, liburan ke luar negeri, atau followers Instagram yang banyak? Atau justru dari rasa syukur, penerimaan diri, dan hubungan positif dengan orang lain?

Baca juga: Apakah

Kebahagiaan Adalah Penerimaan Diri

Dalam era digital yang serba instan ini, sering kali lupa bahwa tak ada yang sempurna. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan. Semua orang punya masalah. Semua orang punya rasa takut dan keraguan. Dan itu normal. Itu manusiawi.

Penerimaan diri adalah langkah pertama menuju kebahagiaan. Bukan berarti harus berhenti berkembang atau berhenti berusaha menjadi lebih baik. Tapi, ini tentang merasa cukup dengan apa yang dimiliki saat ini, tanpa merasa harus selalu lebih, lebih, dan lebih.

Tidak ada yang bisa membuat bahagia selain diri sendiri. Tidak ada orang lain, tidak ada barang, tidak ada status sosial. Semuanya berasal dari dalam diri. Kebahagiaan adalah tentang bagaimana melihat diri sendiri, bukan bagaimana orang lain melihat.

Kebahagiaan Adalah Hubungan Positif

Sekarang, bicara tentang hubungan. Kita adalah makhluk sosial. Kita butuh orang lain. Tapi, orang lain bukanlah sumber kebahagiaan kita. Mereka adalah bagian dari kebahagiaan kita.

Hubungan positif adalah tentang memberi dan menerima, bukan hanya tentang mengambil. Tentang memahami dan dipahami, bukan hanya tentang mendengar dan didengar. Tentang saling menghargai dan menghormati, bukan hanya tentang mendapatkan penghargaan dan penghormatan.

Ingatlah, orang yang paling bahagia bukanlah orang yang memiliki banyak teman atau banyak followers, tapi orang yang memiliki hubungan yang berkualitas. Karena pada akhirnya, jumlah tidak pernah bisa mengalahkan kualitas.

Kebahagiaan Adalah Berarti

Kebahagiaan bukan hanya tentang merasa senang. Kebahagiaan juga tentang merasa berarti. Tentang merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar. Tentang merasa memberikan kontribusi. Tentang merasa dihargai.

Hidup ini bukan tentang mengejar kesenangan. Hidup ini tentang mencari makna. Mungkin terdengar berat, tapi begitulah kenyataannya. Kebahagiaan sejati tidak datang dari kesenangan instan, tapi dari perjuangan untuk mencapai tujuan yang berarti.

Mari kita lihat seorang pemuda di Indonesia, misalnya. Sehari-harinya, dia bekerja keras di sebuah perusahaan startup. Dia tidak pernah pulang sebelum maghrib, kadang sampai tengah malam. Dia tidak pernah libur di akhir pekan, kadang sampai mengorbankan waktu bersama keluarga dan teman-teman. Tapi, dia merasa bahagia. Kenapa? Karena dia merasa apa yang dia lakukan adalah berarti. Dia merasa memberikan kontribusi. Dia merasa dihargai.

Kebahagiaan dan Rasa Syukur

Terkadang, kebahagiaan yang paling murni dan tulus muncul dari rasa syukur yang mendalam. Bahkan, dalam penelitian psikologi, rasa syukur seringkali dikaitkan dengan peningkatan kebahagiaan. Namun, syukur di sini bukan sekadar kata-kata, melainkan perasaan yang tulus dari dalam diri.

Ketika kita mulai mengevaluasi apa yang kita miliki, bukan apa yang tidak kita miliki, perubahan kecil namun signifikan mulai muncul dalam hidup kita. Mulai dari perasaan damai, lebih positif, hingga terbuka terhadap pengalaman baru. Rasa syukur menuntun kita untuk lebih menghargai kehidupan dan apa yang sudah kita capai.

Sebuah cerita nyata datang dari seorang teman yang baru saja lulus kuliah. Meski belum mendapatkan pekerjaan, dia tetap bersyukur dan merasa bahagia karena bisa menyelesaikan studinya. Baginya, kebahagiaan datang dari penghargaan atas pencapaian pribadi, bukan dari ekspektasi masyarakat. Jadi, syukurilah apa yang ada dan biarkan kebahagiaan mengalir.

Kebahagiaan Itu Sederhana

Serius, kebahagiaan itu sederhana. Sangat sederhana. Bukan, bukan berarti gampang, tapi sederhana. Bukan berarti tanpa tantangan, tapi sederhana. Mungkin sekarang semua berasumsi bahwa kebahagiaan itu rumit, membingungkan, dan sulit. Tapi, coba kita renungkan sejenak.

Pernah dengar tentang 'bahagia itu sederhana'? Itu bukan cuma pepatah. Itu realita. Kita bisa bahagia hanya dengan menikmati secangkir kopi di pagi hari, membaca buku favorit, atau berjalan-jalan di taman. Kita tidak perlu sesuatu yang besar dan dramatis untuk merasa bahagia.

Misalkan seorang pelajar yang merasa bahagia hanya dengan mendengarkan lagu favoritnya setelah sekolah. Atau seorang pekerja kantoran yang merasa bahagia hanya dengan menonton serial favoritnya setelah pulang kerja. Lihat? Kebahagiaan itu sederhana.

Kebahagiaan Itu Pilihan

Terakhir, ada satu hal yang perlu kita ingat: kebahagiaan itu pilihan. Bukan kebetulan, bukan nasib, bukan keberuntungan. Kebahagiaan adalah hasil dari pilihan yang kita buat. Setiap hari, setiap saat, kita memiliki pilihan: mau bahagia atau tidak.

Bahkan dalam situasi yang sulit sekalipun, kita bisa memilih untuk bahagia. Bukan berarti mengabaikan masalah atau menghindari kenyataan, tapi melihat dari sudut pandang yang berbeda. Mencari hikmah di balik cobaan. Menerima dengan lapang dada. Itu pilihan.

Misalnya, ada seorang pemuda yang baru saja putus cinta. Dia bisa memilih untuk meratapi dan merasa sengsara, atau dia bisa memilih untuk belajar dari pengalaman tersebut dan bergerak maju. Dia bisa memilih untuk terjebak dalam masa lalu, atau dia bisa memilih untuk membangun masa depan yang lebih baik. Lagi-lagi, kebahagiaan itu pilihan.

Kebahagiaan Adalah Proses, Bukan Tujuan

Terakhir, dan mungkin yang paling penting, kebahagiaan bukanlah tujuan. Kebahagiaan adalah proses. Bukan sesuatu yang harus dicapai, tapi sesuatu yang harus dijalani.

Kita sering kali terjebak dalam perangkap 'bahagia nanti'. Bahagia nanti, setelah mendapatkan pekerjaan impian. Bahagia nanti, setelah menikah. Bahagia nanti, setelah punya rumah sendiri. Tapi, kebahagiaan sejati tidak ada dalam 'nanti'. Kebahagiaan sejati ada dalam 'sekarang'.

Karena pada akhirnya, kebahagiaan adalah tentang merasa cukup. Tidak perlu selalu mengejar, tidak perlu selalu memburu. Cukup merasakan, cukup menghargai, cukup bersyukur. Itulah yang membuat bahagia.

Demikianlah sedikit cerita tentang kebahagiaan. Semoga bisa menjadi inspirasi dan pencerahan. Semoga bisa membantu menemukan kebahagiaan sejati. Semoga bisa membuat hidup lebih baik, lebih bahagia, dan lebih berarti.

Referensi:

  1. Ryan, R. M., & Deci, E. L. (2001). On happiness and human potentials: A review of research on hedonic and eudaimonic well-being. Annual review of psychology, 52(1), 141-166.
  2. Lyubomirsky, S., & Dickerhoof, R. (2005). Subjective happiness. In Handbook of positive psychology (pp. 803-810). Oxford University Press.
  3. Seligman, M. E. (2002). Authentic happiness: Using the new positive psychology to realize your potential for lasting fulfillment. Simon and Schuster.
  4. Ryff, C. D., & Singer, B. H. (2008). Know thyself and become what you are: A eudaimonic approach to psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9(1), 13-39.
  5. Emmons, R. A., & McCullough, M. E. (2003). Counting blessings versus burdens: an experimental investigation of gratitude and subjective well-being in daily life. Journal of personality and social psychology, 84(2), 377.
  6. Lyubomirsky, S., Sheldon, K. M., & Schkade, D. (2005). Pursuing happiness: The architecture of sustainable change. Review of General Psychology, 9(2), 111-131.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun