Mereka yang masih hidup
Dipaksa untuk memilih satu agama yang diakui oleh negara.
Sebagian dari kami memeluk Hindu. Sebagian lagi
Memilih Islam.
Tapi keluarga besar kami tetap memeluk
Agama To Lotang. Karena ini agama leluhur. Apakah kami salah?" Tanya Cenning.
Puisi esai ini juga mengangkat isu diskriminasi yang dialami oleh komunitas To Lotang. Ia penganut agama leluhur yang telah ada sebelum masuknya agama-agama besar di Indonesia.
Meskipun konstitusi Indonesia menjamin kebebasan beragama, kenyataannya banyak komunitas adat seperti To Lotang menghadapi tekanan untuk berasimilasi dengan agama yang diakui negara.
Mereka sering kali dipaksa memilih identitas agama yang bukan kepercayaan asli mereka demi mendapatkan pengakuan dan hak-hak sipil.
Melalui narasi puitis, Ahmad Gaus menggambarkan konflik batin dan tantangan yang dihadapi oleh individu seperti Cenning dalam mempertahankan identitas kepercayaannya.
Puisi esai berjudul "Clara dan Ingatan Tua di Minahasa" mengisahkan perjalanan Clara. Ia kembali ke kampung halamannya di Minahasa setelah lama merantau di Jakarta.
Ia merindukan teman-temannya dan Wale Paliusan, rumah ritual agama leluhur Malesung, yang ternyata telah dirusak oleh oknum anti-toleransi.
Puisi ini menyoroti tantangan yang dihadapi komunitas penghayat kepercayaan dalam mempertahankan tradisi dan identitas mereka di tengah intoleransi.
"Pagi itu langit cerah
Namun wajah Clara dan Ivan terlihat murung
Bangunan Wale Paliusan di hadapan mereka sudah hancur berkeping-keping.