Akibatnya, mereka menghadapi kesulitan dalam mengakses layanan publik, pendidikan, dan pekerjaan.
Melalui dialog antara Irena dan Yopi, puisi ini menggambarkan dilema yang dihadapi oleh penganut kepercayaan Naurus.
Mereka dipaksa menyesuaikan diri dengan agama yang diakui pemerintah demi mendapatkan hak-hak dasar. Hal ini mencerminkan kurangnya pengakuan dan penghormatan terhadap kepercayaan lokal yang seharusnya dilindungi sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa.
Puisi ini juga menyoroti dampak psikologis dan identitas yang dialami oleh individu seperti Irena. Ia terpaksa menyembunyikan atau mengubah identitas kepercayaannya demi memenuhi tuntutan administratif.
Mereka juga menghadapi konflik batin antara menjaga warisan leluhur dan memenuhi persyaratan sosial.
-000-
Puisi esai Ahmad Gaus lain berjudul "Secangkir Teh yang Tumpah di Kaki Cenning." Puisi ini mengisahkan pertemuan antara Uleng dan Cenning, yang membuka tabir sejarah diskriminasi terhadap penganut agama To Lotang di Sulawesi Selatan.
Melalui dialog mereka, puisi ini menyoroti keteguhan komunitas To Lotang. Itu terlihat dari daya tahan mereka mempertahankan kepercayaan leluhur meski menghadapi persekusi selama berabad-abad.
"Kakeknya dibunuh oleh pasukan pemberontak Islam pada tahun '65
Karena dianggap kafir.
Tidak cukup sampai di situ,
Di masa awal pemerintahan Orde Baru
Para pemeluk agama To Lotang diburu
Dianiaya, dibunuh karena dianggap PKI.
Perlengkapan upacara dan ritual mereka dimusnahkan
Pemakaman adat mereka dibongkar.