Lee Miller, seorang wanita yang pernah menjadi ikon kecantikan di dunia mode. Ia menjalani transformasi hidup yang mengantarkannya menjadi salah satu saksi terpenting dari kehancuran manusia selama Perang Dunia II.
Ia tidak hanya menyaksikan pertempuran di garis depan sebagai jurnalis perang, tetapi juga menyaksikan kekejaman di kamp konsentrasi Nazi yang dibebaskan. Pengalaman-pengalaman ini meninggalkan luka mendalam pada batinnya.
Miller, yang sebelumnya dikenal sebagai model dan fotografer fesyen, tumbuh menjadi seseorang yang menarik diri dari masyarakatnya. Kengerian perang memisahkannya dari kenyataan sehari-hari, menciptakan jarak antara dirinya dan dunia yang pernah dikenalnya.
Bahkan hubungannya dengan anaknya, Antony Penrose, menjadi rumit. Miller yang dulu ceria dan penuh energi menjadi pribadi yang sulit didekati, seorang ibu yang terluka oleh apa yang dilihatnya selama perang.
-000-
Hijrah dari Model ke Jurnalis Perang
Perjalanan hidup Lee Miller penuh dengan perubahan. Lahir di Poughkeepsie, New York, pada 1907, Miller memulai kariernya sebagai model.
Pada usia muda, dia menarik perhatian Cond Nast, pendiri Vogue, yang menjadikannya wajah sampul majalah tersebut. Namun, kehidupan sebagai model tidak cukup baginya.
Keinginannya untuk menjadi kreator, bukan hanya objek, membawanya ke Paris, di mana dia bergabung dengan dunia seni avant-garde dan belajar fotografi di bawah bimbingan Man Ray.
Di Paris, Miller menjalin hubungan dengan komunitas seniman surealis, tetapi jiwanya terus meronta mencari makna lebih. Setelah kembali ke New York dan membuka studio fotografi, hidupnya kembali berubah ketika Perang Dunia II meletus.
Miller memutuskan untuk menjadi jurnalis perang, meninggalkan gemerlap dunia mode dan seni untuk merekam kengerian yang tak terbayangkan.