Hai apa kabar semua? Saya doakan dan berharap semuanya dalam keadaan sehat wal afiat dan diberikan kebahagiaan dunia dan akhirat, Amin Allahuma Amiin.Â
Tidak terasa sudah lebih dari satu tahun bagi saya tidak menulis artikel pada blog Kompasiana ini. Ada beberapa hal yang ingin saya diskusikan pada artikel ini terkait paradigma yang terjadi di dunia Pendidikan terkait linieritas Program Studi dan plagiarisme terhadap penulisan karya ilmiah yang dihasilkan oleh para Dosen, Guru maupun Mahasiswa pada Perguruan Tinggi baik Negeri maupun Swasta.
Beberapa waktu lalu saya mencoba membaca artikel terkait dinamika untuk linieritas dan plagiarisme tersebut pada forum grup diskusi online di aplikasi sosial media. Memang terjadi pro dan kontra terkait kedua hal tersebut, dimana memang saya menilai telah terjadi multitafsir terkait pemahaman untuk kedua hal tersebut.Â
Disini, saya akan mencoba menjabarakan terlebih dahulu tentang kelebihan dan kekurangan dari kedua sudut pandang hal tersebut. Mungkin nanti para pakar dan praktisi di bidang Pendidikan dan Dunia Industri dan Dunia Usaha (DUDI) dapat memberikan tanggapannya pada kolom komentar.
Menanggapi hal tersebut, Saya akan memulai dari pembahasan terkait linieritas Program Studi pada Perguruan Tinggi dahulu.Â
Setelah saya pahami tentang peraturan dan indikator dalam penilaian akreditasi Program Studi, memang masih memiliki sudut pandang tentang keselarasan antara latar belakang keilmuan yang ditempuh oleh Dosen dengan Program Studi tempat Dosen tersebut mengajar.Â
Dalam hal ini, seorang Dosen yang sedang ingin mencapai jenjang jabatan akademik tertinggi pada Perguruan Tinggi, harus memenuhi kebutuhan akan linieritas tersebut.Â
Sedangkan secara keilmuan, bahwa irisan antar bidang keilmuan dapat saja bersinggungan. Seperti contoh semisal bidang keilmuan manajemen dan Teknologi Informasi (TI), yang kita ketahui terdapat hubungan dengan bidang keilmuan lainnya karena bersifat ilmu terapan.Â
Sedangkan pandangan lain, menilai bahwa keselarasan pada latar belakang pendidikan Dosen juga harus sesuai dengan mata kuliah atau prorgam studi yang diajarkan oleh Dosen tersebut. Nah, disini lah letak perbedaan pandangan terkait kesesuaian keilmuan Dosen dengan matya kuliah yang diberikan kepada Mahasiswa.Â
Tinggal perspektif mana yang ingin digunakan oleh para Pemangku Kebijakan terkait linieritas ini. Terlebih lagi, pengembangan ilmu pengetahuan beberapa tahun terakhir sangat pesat, secara perspektif praktikal, sangat memungkin antar bidang keilmuan untuk dapat dipadukan.
Adapun penjelasan terkait linieritas rumpun ilmu Dosen terdapat pada Surat Edaran Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 696 / E.E3 / MI / 2014 tentang Linieritas Bidang Ilmu Bagi Dosen.Â
Akan tetapi,kondisi yang terjadi saat ini berbanding terbalik jika melihat skema pada Program Studi yang sedang mengusulkan penilaian (akreditasi) dari BAN - PT, dimana Prorgam Studi tersebut harus memiliki jumlah Tenaga Pengajar yang memiliki linieritas keilmuan yang Sama dengan rumpun ilmu pada Program Studi yang diampu oleh Dosen dalam jumlah yang telah ditentukan, jika ingin mendapatkan nilai (point) penuh untuk Standar tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Terutama pada Perguruan Tinggi Swasta, pada proses pengusulan jenjang jabatan akademik Dosen, pihak Perguruan Tinggi Swasta tersebut harus melakukan koordinasi dengan LLDIKTI (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi) wilayah domisili Perguruan Tinggi tersebut berada.Â
Hal ini berbeda jika pengusulan jabatan akademik pada Dosen yang bekerja pada Perguruan Tinggi Negeri, Dimana Perguruan Tinggi Negeri tersebut tersebut Tidak Harus melakukan koordinasi dengan pihak LLDIKTI. Sehingga perbedaan ini, dinilai dapat menimbulkan kecemburuan sosial bagi para Dosen yang bekerja pada Perguruan Tinggi Swasta.
Hal ini seharusnya menjadi fokus perhatian bagi para Pemangku Kebijakan pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuat payung hukum dan dokumen petunjuk teknik (juknis) bagi para Dosen yang tidak memiliki keselarasan keilmuan dan dengan rumpun ilmu Program Studi tempat Dosen tersebut bekerja yang Adil.
Jika tujuan Pemerintah ingin mengembangkan kurikulum Pendidikan pada jenjang Pendidikan Tinggi agar Mahasiswa mendapatkan ilmu pengethauan dan keterampilan pada bidang lain yang relevan dengan Program Studi yang ditempuh.Â
Terlebih lagi Menteri Pendidikan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Anwar Makarim, B.A., M.B.A telah meluncurkan program Merdeka Belajar yang berisikan bahwa setiap Mahasiswa berhak untuk mendapatkan keilmuan diluar kurikulum Program Studi yang sedang ditempuhnya.
Munculnya Program Studi Baru pada Lembaga Pendidikan, membuktikan bahwa keterhubungan antar disiplin ilmu telah berkembang. Seperti contoh Program Studi Sistem Informasi.Â
Beberapa pendapat para ahli saling berbeda terkait peletakan rumpun ilmu untuk Program Studi tersebut. Beberapa pendapat dari Dosen yang pernah Saya ajak diskusi, menilai bahwa Sistem Informasi dapat masuk ke rumpun ilmu Sosial dan Teknik. Dimana substansi dari Program Studi tersebut sebenarnya dapat masuk ke ranah bidang ilmu Manajemen dan Bisnis serta bidang ilmu Teknik Informatika.
Karena Sistem Informasi sendiri merupakan rumpun ilmu yang memadukan antara kedua rumpun ilmu tersebut. Sehingga hal ini perlu dikaji kembali oleh para Pakar Pendidikan dan Pemangku Kebijakan pada Kementrian Pendidikan dan Budaya Republik Indonesia, dimanakah letak sesungguhnya rumpun ilmu Sistem Informasi ini dan mengkaji kembali terkait linieritas pada Dosen yang memiliki latar belakang multi bidang keilmuan pada Program Studi Sistem Informasi.Â
Contoh lainnya lagi, seperti Program Studi Teknologi Pendidikan, yang bersisikan tentang hubungan antara penerapan Teknologi Informasi dengan Manajemen Pendidikan dan konsentrasi output pada Prorgam Studi tersebut dapat berupa pembuatan media pembelajaran atau sistem informasi manajemen pendidikan.Â
Sehingga keterbaruan ilmu ini lah yang dapat dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan terkait pengembangan linieritas ilmu yang dimiliki oleh Dosen dan keilmuan pada Program Studi yang diampu agar dapat ditemukan solusinya.Â
Dimana Mahasiswa lulusan Program Studi Teknologi Pendidikan, dapat menjadi tenaga admin pada Sekolah serta Dosen untuk Program Studi Teknologi Informasi dan Manajemen Pendidikan atau menjadi Prkatisi pada DUDI.Â
Sehingga win win solution dapat segera ditemukan untuk  memecahkan permasalahan yang mendasar ini agar Program Studi dapat memenuhi indikator pada Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Sekarang beralih ke plagiasi pada karya ilmiah. Belum lama ini, dunia maya dihebohkan dengan pemberitaan terkait beberapa Dosen bahkan Rektor yang memiliki tingkat plagiasi yang tinggi (di atas ambang toleransi) untuk karya ilmiah yang dihasilkan semasa Dosen tersebut menempuh pendidikan atau melakukan penelitian. Sekarang Kita coba fokuskan perhatian tentang arti kata plagiasi itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan arti kata plagiasi ? Jika tujuan dari Pemerintah adalah untuk membuktikan bahwa Mahasiswa atau Peneliti tersebut telah menemukan ide otentik dalam pembuatan karya ilmiah, seharusnya dapat mengkaji kembali terkait ruang lingkup dari plagiasi tersebut. Sebagai contoh, jika terdapat Dosen yang menulis karya ilmiah sebelumnya dan melakukan sitasi terhadap tulisan karya ilmiah nya sendiri untuk penelitian berikutnya, apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai plagiasi ? Hal ini sontak menjadi perhatian khalayak banyak terutama insan Pendidikan, untuk segera merumuskan hal tersebut. Sejauh mana toleransi plagiasi tersebut di anggap wajar. Adapun yang menjadi pemikiran Saya pribadi adalah seberapa banyak ketersediaan pilihan pembendaharaan kata dan kalimat dalam sebuah paragaph untuk dirubah kalimatnya agar tidak terdeteksi palgiasi melalui aplikasi pendeteksi plagiasi ? Saya rasa, tidak banyak pilihan dalam pembendaharaan kata dan kalimat tersebut sehingga memungkiinkan Penulis karya ilmiah dalam memiliki tingkat kesamanan penulisan ata atau kalimat dengan tingkat yang cukup tinggi dnegan Penelitian yang lain. Terlebih jika yang di cek pada bab bagian teori pada karya ilmiah. Karena Ada beberapa keilmuan yang hanya memiliki sedikit sumber referensi dalam acuan pembuatan teori. Sebaiknya jika ingin melihat otentifikasi karya ilmiah adalah dengan melakukan pengecekan plagiasi pada bab 1 (pendahuluan), bab 4 (pembahasan) dan bab 5 (penutup) karena hal pada bab tersebut memiliki kemungkinan kecil memiliki tingkat plagiasi yang tinggi. Hal ini pula dapat dijadikan dasar dalam penentuan ruang lingkup plagiasi itu sendiri agar dapat segera dirumuskan. Lalu semisal terdapat karya ilmiah yang sama temanya sedangkan lokasi nya berbeda, maka hasil penelitian pun juga akan berbeda. Karena kondisi demografi dan kebutuhan setiap daerah dan orang pun juga berbeda yang menjadi objek dan subjek dalam penelitian.
Belum lagi, penekanan pada penerbitan jumlah karya ilmiah baik dari Dosen dan Mahasiswa harus terus ditingkatkan dari waktu ke waktu agar terlihat bahwa Indonesia memiliki sumber referensi yang banyak terhadap berbagai bidang keilmuan. Hal ini yang perlu dikaji kembali, apakah hanya sekedar untuk memenuhi kuantitas jumlah karya ilmiah yang dihasilkan saja atau ingin kualitas dari penelitian yang dihasilkan agar dapat diambil manfaatnya ? Ketika Saya membuat Disertasi pada kuliah S3 kemarin, Saya menemukan beberapa konsep dan model yang hampir sama dengan konsep dan pengembangan model yang ingin Saya jadikan tema penelitian. Hal ini menjadi bukti bahwa, sebenarnya sudah banyak penelitian serupa yang beredar dengan tema penelitian yang ingin Saya kerjakan. Saya yakin bahwa di bidang ilmu lainnya juga mengalami hal yang sama. Belum lagi tuntutan bagi para Dosen yang harus mempublikasikan karya ilmiahnya pada publikasi tingkat internasional. Dalam benak saya, apakah perlu  sampai  pada tingkat internasional ? Apakah penelitian yang dibuat dapat diimplementasikan di Negara lain ? Bagaimana dengan keamanan kerahasiaan data jika data yang diteliti itu merupakan data rahasia pada sebuah Lembaga ? Lalu berapa banyak biaya yang harus dikelaurkan dan berputar di Luar Negeri ? Apakah ini bukan termasuk komersialisasi dalam Pendidikan ? Lalu duitnya untuk siapa ? Kenapa tidak dikembangkan saja untuk dalam Negeri sehingga mempermudah Dosen untuk mempublikasikan karya ilmiah dan tidak membutuhkan biaya yang banyak serta peredaran uang pun dapat digunakan untuk pengembangan Lembaga penerbit jurnal dari dalam Negeri tersebut. Toh dananya kan dapat digunakan untuk pengembangan hal lain. Hal tersebut yang melandasi Saya, untuk membuat artikel ini. Karena tidak hanya Saya saja yang mengalami hal yang serupa akan tetapi seluruh Mahasiwa Strata 3 yang sedang menempuh perkulaihan saat ini.Â
Sejatinya, apa sih tujuan Pendidikan itu sendiri? Jikalau yang Saya pahami dari Undang - Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dan dari buku Pendidikan karangan Ki Hajar Dewantara yang Saya baca, esensi dari tujuan Pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan Bangsa dan meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat yang memiliki tingkat eknomi yang rendah.Â
Oke, Saya salut dari Pemerintah yang telah berupaya dalam mengeluarkan program beasiswa untuk jenjang Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi, akan tetapi seberapa banyak orang yang dapat merasakannya beasiswa? Apakah sudah tepat sasaran atau belum?Â
Lalu bagaimana dengan komitmen Mahasiwa lulusan dari program beasiswa tersebut untuk pengabdiannya kepada pengembangan ilmu di masyarakat?Â
Perlu diketahui, bahwa biaya yang digunakan untuk beasiswa tersebut, bersumber dari APBN (Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara) yang didapatkan dari pajak dan pemasukan resmi lainnya yang diperoleh dari Masyarakat itu sendiri. Sehingga hal ini diharapkan, agar orang yang mendapatkan beasiswa tersebut dapat berbuat lebih banyak untuk Bangsa dan Negara, bukan hanya untuk membantu orang tersebut saja.
Ternyata permasalahan pada dunia Pendidiakn sangatlah kompleks. Melalui tulisan yang masih dari kata sempurna ini,Â
Saya berharap mendapatkan masukan yang membangun untuk pemikiran Saya dan bermanfaat untuk orang banyak. Tulisan pada artikel ini, merupakan ide dalam pemikiran Saya pribadi.
Saya harap dapat dibaca dan dikaji kembali oleh para Pemangku Kebijakan pada bidang Pendidikan. Mungkin kita dapat menengok bagaimana kondisi Pendidikan di beberapa daerah pedalaman yang sulit terjangkau oleh teknologi dan orang, apakah sudah sesuai dengan tujuan mulia dari Pendidikan itu sendiri atau belum ? Bagaimana ingin bersaing dengan Negara lainnya, jika saja paradigma para Pendidik dan pakar masih menggunakan paradigma yang lama ? Coba tengok Negara yang maju saat ini, umumnya mereka mengdepankan Pendidikan bagi Masyarakatnya untuk dapat bersaing dengan SDM dari Negara lain. Belum lagi masalah perspektif integritas yang dimiliki oleh SDM saat ini. Saya masih melihat bahwa masih terdapatnya ketimpangan dalam perilaku sosial pada Masyarakat. Coba bayangkan jika Indonesia memiliki SDM dengan kapabilitas yang bagus dan integritas yang baik, Saya rasa itu bukan hal berlebihan untuk saat ini. Belum lagi Kita harus sadar bahwa ke depannya, para Pemimpin Bangsa dan Negara ini harus melakukan regenerasi. Apakah sudah siap generasi saat ini untuk menggantikan peran tersebut di waktu mendatang ? Mari kita perhatikan dan simak bersama - sama bagaimana nanti hasilnya. Pendidikan hidup di setiap lini kehidupan pada Masyarakat terlebih Pendidikan telah menjadi program prioritas utama Pemerintah seperti yang diamanahkan pada Undag - Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dan Undang - Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Akhir kata dari artikel ini, Saya ingin mengajak semua pihak untuk dapat mencermati dan merumuskan bersama terkait kondisi dan kendala pada bidang Pemdidikan saat ini sehingga idealnya, hal tersebut dapat dijadikan dalam pembuatan Rencana Streategis Pendidikan yang berkelanjutan.
Sekali lagi, artikel ini Bukan bertujuan untuk menjadi bahan perdebatan terlebih lagi untuk menyinggung pihak tertentu, akan tetapi  Saya berharap melalui artikel ini dapat dijadikan topik yang menarik untuk selalu dibahas oleh semua orang.Â
Dan besar harapan Saya untuk dapat mengembangkan pola pikir, pengetahuan dan keahlian Saya sendiri selaku pelaksana Pendiidkan sebagai Dosen pada salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta dan para tenaga pengajar lainnya. Terima kasih telah membaca artikel ini dan Saya sangat mengapresiasi jikalau ada orang yang sudi untuk memberikan komentarnya pada kolom artikel ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H