Dimana Mahasiswa lulusan Program Studi Teknologi Pendidikan, dapat menjadi tenaga admin pada Sekolah serta Dosen untuk Program Studi Teknologi Informasi dan Manajemen Pendidikan atau menjadi Prkatisi pada DUDI.Â
Sehingga win win solution dapat segera ditemukan untuk  memecahkan permasalahan yang mendasar ini agar Program Studi dapat memenuhi indikator pada Standar Tenaga Pendidik dan Kependidikan.
Sekarang beralih ke plagiasi pada karya ilmiah. Belum lama ini, dunia maya dihebohkan dengan pemberitaan terkait beberapa Dosen bahkan Rektor yang memiliki tingkat plagiasi yang tinggi (di atas ambang toleransi) untuk karya ilmiah yang dihasilkan semasa Dosen tersebut menempuh pendidikan atau melakukan penelitian. Sekarang Kita coba fokuskan perhatian tentang arti kata plagiasi itu sendiri. Apakah yang dimaksud dengan arti kata plagiasi ? Jika tujuan dari Pemerintah adalah untuk membuktikan bahwa Mahasiswa atau Peneliti tersebut telah menemukan ide otentik dalam pembuatan karya ilmiah, seharusnya dapat mengkaji kembali terkait ruang lingkup dari plagiasi tersebut. Sebagai contoh, jika terdapat Dosen yang menulis karya ilmiah sebelumnya dan melakukan sitasi terhadap tulisan karya ilmiah nya sendiri untuk penelitian berikutnya, apakah hal tersebut dapat dikatakan sebagai plagiasi ? Hal ini sontak menjadi perhatian khalayak banyak terutama insan Pendidikan, untuk segera merumuskan hal tersebut. Sejauh mana toleransi plagiasi tersebut di anggap wajar. Adapun yang menjadi pemikiran Saya pribadi adalah seberapa banyak ketersediaan pilihan pembendaharaan kata dan kalimat dalam sebuah paragaph untuk dirubah kalimatnya agar tidak terdeteksi palgiasi melalui aplikasi pendeteksi plagiasi ? Saya rasa, tidak banyak pilihan dalam pembendaharaan kata dan kalimat tersebut sehingga memungkiinkan Penulis karya ilmiah dalam memiliki tingkat kesamanan penulisan ata atau kalimat dengan tingkat yang cukup tinggi dnegan Penelitian yang lain. Terlebih jika yang di cek pada bab bagian teori pada karya ilmiah. Karena Ada beberapa keilmuan yang hanya memiliki sedikit sumber referensi dalam acuan pembuatan teori. Sebaiknya jika ingin melihat otentifikasi karya ilmiah adalah dengan melakukan pengecekan plagiasi pada bab 1 (pendahuluan), bab 4 (pembahasan) dan bab 5 (penutup) karena hal pada bab tersebut memiliki kemungkinan kecil memiliki tingkat plagiasi yang tinggi. Hal ini pula dapat dijadikan dasar dalam penentuan ruang lingkup plagiasi itu sendiri agar dapat segera dirumuskan. Lalu semisal terdapat karya ilmiah yang sama temanya sedangkan lokasi nya berbeda, maka hasil penelitian pun juga akan berbeda. Karena kondisi demografi dan kebutuhan setiap daerah dan orang pun juga berbeda yang menjadi objek dan subjek dalam penelitian.
Belum lagi, penekanan pada penerbitan jumlah karya ilmiah baik dari Dosen dan Mahasiswa harus terus ditingkatkan dari waktu ke waktu agar terlihat bahwa Indonesia memiliki sumber referensi yang banyak terhadap berbagai bidang keilmuan. Hal ini yang perlu dikaji kembali, apakah hanya sekedar untuk memenuhi kuantitas jumlah karya ilmiah yang dihasilkan saja atau ingin kualitas dari penelitian yang dihasilkan agar dapat diambil manfaatnya ? Ketika Saya membuat Disertasi pada kuliah S3 kemarin, Saya menemukan beberapa konsep dan model yang hampir sama dengan konsep dan pengembangan model yang ingin Saya jadikan tema penelitian. Hal ini menjadi bukti bahwa, sebenarnya sudah banyak penelitian serupa yang beredar dengan tema penelitian yang ingin Saya kerjakan. Saya yakin bahwa di bidang ilmu lainnya juga mengalami hal yang sama. Belum lagi tuntutan bagi para Dosen yang harus mempublikasikan karya ilmiahnya pada publikasi tingkat internasional. Dalam benak saya, apakah perlu  sampai  pada tingkat internasional ? Apakah penelitian yang dibuat dapat diimplementasikan di Negara lain ? Bagaimana dengan keamanan kerahasiaan data jika data yang diteliti itu merupakan data rahasia pada sebuah Lembaga ? Lalu berapa banyak biaya yang harus dikelaurkan dan berputar di Luar Negeri ? Apakah ini bukan termasuk komersialisasi dalam Pendidikan ? Lalu duitnya untuk siapa ? Kenapa tidak dikembangkan saja untuk dalam Negeri sehingga mempermudah Dosen untuk mempublikasikan karya ilmiah dan tidak membutuhkan biaya yang banyak serta peredaran uang pun dapat digunakan untuk pengembangan Lembaga penerbit jurnal dari dalam Negeri tersebut. Toh dananya kan dapat digunakan untuk pengembangan hal lain. Hal tersebut yang melandasi Saya, untuk membuat artikel ini. Karena tidak hanya Saya saja yang mengalami hal yang serupa akan tetapi seluruh Mahasiwa Strata 3 yang sedang menempuh perkulaihan saat ini.Â
Sejatinya, apa sih tujuan Pendidikan itu sendiri? Jikalau yang Saya pahami dari Undang - Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dan dari buku Pendidikan karangan Ki Hajar Dewantara yang Saya baca, esensi dari tujuan Pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan Bangsa dan meningkatkan taraf hidup masyarakat terutama masyarakat yang memiliki tingkat eknomi yang rendah.Â
Oke, Saya salut dari Pemerintah yang telah berupaya dalam mengeluarkan program beasiswa untuk jenjang Pendidikan Dasar, Menengah dan Pendidikan Tinggi, akan tetapi seberapa banyak orang yang dapat merasakannya beasiswa? Apakah sudah tepat sasaran atau belum?Â
Lalu bagaimana dengan komitmen Mahasiwa lulusan dari program beasiswa tersebut untuk pengabdiannya kepada pengembangan ilmu di masyarakat?Â
Perlu diketahui, bahwa biaya yang digunakan untuk beasiswa tersebut, bersumber dari APBN (Anggaran Pemasukan dan Belanja Negara) yang didapatkan dari pajak dan pemasukan resmi lainnya yang diperoleh dari Masyarakat itu sendiri. Sehingga hal ini diharapkan, agar orang yang mendapatkan beasiswa tersebut dapat berbuat lebih banyak untuk Bangsa dan Negara, bukan hanya untuk membantu orang tersebut saja.
Ternyata permasalahan pada dunia Pendidiakn sangatlah kompleks. Melalui tulisan yang masih dari kata sempurna ini,Â
Saya berharap mendapatkan masukan yang membangun untuk pemikiran Saya dan bermanfaat untuk orang banyak. Tulisan pada artikel ini, merupakan ide dalam pemikiran Saya pribadi.
Saya harap dapat dibaca dan dikaji kembali oleh para Pemangku Kebijakan pada bidang Pendidikan. Mungkin kita dapat menengok bagaimana kondisi Pendidikan di beberapa daerah pedalaman yang sulit terjangkau oleh teknologi dan orang, apakah sudah sesuai dengan tujuan mulia dari Pendidikan itu sendiri atau belum ? Bagaimana ingin bersaing dengan Negara lainnya, jika saja paradigma para Pendidik dan pakar masih menggunakan paradigma yang lama ? Coba tengok Negara yang maju saat ini, umumnya mereka mengdepankan Pendidikan bagi Masyarakatnya untuk dapat bersaing dengan SDM dari Negara lain. Belum lagi masalah perspektif integritas yang dimiliki oleh SDM saat ini. Saya masih melihat bahwa masih terdapatnya ketimpangan dalam perilaku sosial pada Masyarakat. Coba bayangkan jika Indonesia memiliki SDM dengan kapabilitas yang bagus dan integritas yang baik, Saya rasa itu bukan hal berlebihan untuk saat ini. Belum lagi Kita harus sadar bahwa ke depannya, para Pemimpin Bangsa dan Negara ini harus melakukan regenerasi. Apakah sudah siap generasi saat ini untuk menggantikan peran tersebut di waktu mendatang ? Mari kita perhatikan dan simak bersama - sama bagaimana nanti hasilnya. Pendidikan hidup di setiap lini kehidupan pada Masyarakat terlebih Pendidikan telah menjadi program prioritas utama Pemerintah seperti yang diamanahkan pada Undag - Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia dan Undang - Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Akhir kata dari artikel ini, Saya ingin mengajak semua pihak untuk dapat mencermati dan merumuskan bersama terkait kondisi dan kendala pada bidang Pemdidikan saat ini sehingga idealnya, hal tersebut dapat dijadikan dalam pembuatan Rencana Streategis Pendidikan yang berkelanjutan.