Di sebuah cafe di kota Depok, Deni duduk di luar cafe sambil melamun. Kehidupannya selama ini terasa seperti puzzle yang tak lengkap. Sebagai seorang yang penyendiri di SMA Bagdhad, Deni merasa hubungan-hubungan dengan orang-orang di sana seperti pasir di pantai yang mudah terhapus ombak.
Hingga suatu hari, kehidupan Deni berubah ketika dia menghadiri sebuah kegiatan antar sekolah dan bertemu Jaya. Jaya adalah siswa SMA Alapan, sekolah di Kota tetangga yang terkenal dengan akademiknya. Jaya adalah sosok kalem, selalu berbicara lembut, dan memiliki aura bijak yang membuat orang merasa nyaman. Mereka bertemu di sebuah acara gabungan Rohis antar sekolah. Saat itu, Jaya menceritakan pengalamannya saat menjadi penceramah di sekolahnya, singkat tentang pentingnya keikhlasan dalam pertemanan. Kata-katanya menyentuh hati Deni yang sudah lama merindukan persahabatan sejati.
"Kamu tahu nggak, ikhlas itu bukan cuma soal memberi, tapi juga menerima. Kadang, menerima diri kita apa adanya itu lebih sulit," ujar Jaya saat mereka duduk di bawah pohon rindang seusai acara.
Sejak saat itu, Deni dan Jaya sering bertukar cerita. Deni yang biasanya penuh canda mendapati dirinya terbuka tentang hal-hal yang selama ini dia pendam. Jaya selalu mendengarkan dengan sabar, sesekali memberikan nasihat yang sederhana namun dalam maknanya. Jaya juga bercerita tentang cita-citanya menjadi diplomat dan harapannya untuk kuliah di Turki.
"Keren, ya. Gue juga pengen ke luar negeri, tapi masih bingung gimana caranya," kata Deni.
Dalam acara yang sama, Jaya melihat ada seorang temannya berlalu, dan memanggilnya. Saat itu dirinya mengenalkan Kiki. Kiki adalah teman Jaya dari masa kecil, yang meskipun bersekolah di SMA Swosh, sering ikut dalam lomba yang sering dilakukan oleh Rohis di SMA Alapan. Kiki adalah sosok yang ceplas-ceplos, tidak suka basa-basi, tetapi perhatian dan tulus.
"Eh, iya salam kenal ya, gue Kiki," sapanya kepada Deni.
"Iya, gue Deni." Mereka pun berkenalan dan saling bertukar bercerita satu sama lain.
Kiki langsung cocok dengan Deni. Keduanya sering menghabiskan waktu dengan bercerita tentang hal-hal kecil, dari film favorit hingga mimpi-mimpi besar. Kiki punya cita-cita kuliah di Jepang, dan dia sering bercerita tentang budaya Jepang yang membuatnya jatuh cinta. Dan sama dengan deni yang selalu ingin pergi ke jepang, namun keadaan ekonomi yang selalu membuat mimpinya memudar.
"Kalau lo beneran mau ke Jepang, gue punya kenalan. Paman gue lulusan sana. Tapi ntar aja gue kenalin," kata Kiki suatu hari.
Deni hanya tersenyum. Bagi dia, persahabatan yang mulai terbentuk ini adalah hal baru yang sangat dia syukuri.
Tak lama setelah itu, lingkaran persahabatan mereka bertambah luas dengan hadirnya Hamna dan Amar. Hamna adalah teman sekelas Jaya yang pendiam dan cenderung tertutup. Namun, di balik sikapnya yang kalem, Hamna memiliki kemampuan berpikir kreatif yang luar biasa. Ide-idenya sering membantu Jaya dalam mengelola kegiatan Rohis.
Amar, di sisi lain, adalah kebalikan dari Hamna. Amar adalah penggemar otomotif, sering terlihat dengan tangan yang kotor oleh oli. Hobinya mengutak-atik motor sering kali menjadi bahan candaan di antara mereka.
"Amar, gue rasa kalau lo jadi mekanik motor, bisnis lo bakal rame. Semua orang bakal nyari lo," canda Deni suatu kali.
"Eh, jangan salah, Den. Gue juga bisa bikin motor lo jadi kece kalau lo mau," balas Amar sambil tertawa.
Hari-hari berlalu, dan persahabatan mereka semakin erat. Meski berasal dari latar belakang yang berbeda, mereka menemukan kenyamanan dalam keberagaman itu. Hingga suatu hari, Kiki mengusulkan ide untuk pergi ke pantai bersama.
"Kita udah lama banget nggak kumpul lengkap. Gimana kalau kita ke pantai akhir pekan ini? Gue tahu tempat bagus di daerah Sukabumi. Nggak terlalu rame, cocok buat kita ngobrol santai," kata Kiki.
Semua setuju. Ketika hari yang dinanti tiba, sampai di penginapan, sore jelang malam, mereka berkumpul di sebuah pantai yang sepi dengan pasir putih yang lembut. Di bawah langit senja yang mulai memerah, mereka duduk mengelilingi api unggun.
Kiki, seperti biasa, menjadi yang paling pertama berbicara. Dia bercerita tentang mimpinya kuliah di Jepang dan bagaimana dia ingin mempelajari teknologi untuk membantu masyarakat di Indonesia.
"Gue pengen banget ke Jepang, bukan cuma buat belajar, tapi juga buat lihat gimana mereka bisa maju tanpa kehilangan budaya lokal," katanya.
Jaya kemudian berbagi tentang mimpinya menjadi diplomat. "Gue pengen jadi jembatan antara Indonesia sama dunia luar. Turki itu tujuan gue, karena sejarahnya yang kaya dan posisinya yang unik antara dua benua."
Hamna, meski awalnya ragu, akhirnya mengungkapkan sesuatu yang mengejutkan. "Gue sebenarnya punya penyakit kronis sejak kecil. Tapi gue nggak pernah cerita, karena nggak mau orang kasihan sama gue," ujarnya dengan suara bergetar.
Semua terdiam sejenak, lalu Amar memecah keheningan dengan candanya. "Hamna, lo hebat. Kalau gue punya penyakit kayak gitu, mungkin gue udah drama tiap hari."
Tawa pecah, namun kehangatan tetap terasa. Ketika giliran Deni, dia mulai bercerita tentang kehidupannya yang penuh gejolak emosi. "Kadang gue ngerasa seneng banget, kadang bisa tiba-tiba down. Gue nggak ngerti kenapa. Tapi gue nggak pernah cerita ke siapa-siapa, bahkan ke keluarga gue."
Kiki memotong pembicaraan dan mengalihkah pembicaraan. "Den, gue punya ide. Lo kan pengen banget ke Jepang. Gimana kalau gue kenalin lo ke paman gue? Dia lulusan Jepang dan sekarang jadi dokter di Bandung. Dia pasti seru diajak ngobrol soal Jepang."
Deni tersenyum lebar. "Serius, Ki? Itu bakal keren banget!"
Kiki hanya mengangguk. Dalam hati, dia tahu tujuan sebenarnya adalah untuk membantu Deni menyadari apa yang sedang dia alami. Pamannya, Dokter Ramli, adalah seorang psikiater terkenal yang bisa membantu Deni memahami dirinya lebih baik.
Keesokan harinya, mereka pulang dengan hati yang lebih ringan. Persahabatan mereka tidak hanya tentang berbagi kebahagiaan, tetapi juga saling mendukung dalam menghadapi masalah masing-masing.
Di minggu berikutnya, Kiki mengajak Deni ke Bandung untuk bertemu Dokter Ramli. Dengan sedikit rasa gugup, Deni memasuki ruang praktik yang hangat dan nyaman. Tanpa menyadari maksud sebenarnya, dia berbincang panjang lebar tentang Jepang, kehidupannya, dan perasaan-perasaan yang selama ini mengganggu.
Pertemuan itu menjadi awal dari perjalanan baru bagi Deni. Bersama teman-temannya, dia mulai menyadari bahwa hidup adalah tentang saling mendukung dan menerima, baik di saat bahagia maupun sulit. Dan di sanalah, di tengah lingkaran sahabat yang tulus, Deni menemukan kepingan puzzle yang selama ini hilang.
Beberapa bulan berlalu, dan persahabatan mereka semakin erat. Mereka bahkan memberi nama untuk geng mereka, "Ijolumut", singkatan dari "Ikatan Jomblo Lucu dan Imut". Nama itu dipilih karena sifat mereka yang ceria dan penuh canda.
Meski begitu, Deni merasa paling dekat dengan Kiki. Sosok Kiki yang pengertian dan selalu ada di saat terberat membuatnya merasa nyaman. Bahkan ketika malam-malam depresinya datang, Kiki selalu siap menemani. Suatu malam, ketika Deni merasa sangat down, Kiki datang ke rumahnya dengan motor.
"Den, ayo keluar. Gue temenin keliling kota," ajak Kiki.
Meski awalnya ragu, Deni akhirnya setuju. Mereka berkeliling Depok sambil berbicara. Di salah satu sudut kota yang sepi, Kiki mengajak Deni berteriak sekuat tenaga.
"Coba, Den! Teriak aja. Biar lega," kata Kiki.
Malam itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi Deni. Dukungan Kiki membuatnya merasa lebih ringan.
Namun, ketika waktu kelulusan tiba, Deni harus menghadapi kenyataan pahit. Dia tidak lulus SMA. Kiki dan Jaya menjadi teman yang setia mendampingi Deni di saat terberat itu. Mereka mengusulkan ide untuk pergi ke Dieng bersama Hamna dan Amar, agar Deni bisa sedikit melupakan kegagalannya.
Selama tiga hari dua malam, mereka menikmati keindahan Dieng. Meski cuaca dingin, kehangatan persahabatan membuat perjalanan itu istimewa. Pada dini hari terakhir, mereka berencana mendaki Bukit Sikunir untuk melihat golden sunrise.
Namun, Deni merasa tidak sanggup mendaki. Dia memilih tinggal, tetapi Kiki memaksanya.
"Den, lo pasti bisa. Gue temenin. Pelan-pelan aja," kata Kiki.
Dengan berat hati, Deni akhirnya ikut. Seperti yang dia duga, dia kelelahan sebelum mencapai puncak. Namun, dengan motivasi dari Kiki dan teman-temannya, Deni berhasil sampai di pos 1.
"Sampai di sini aja udah hebat, Den. Nanti kalau ke sini lagi, kita naik sampai pos 3, ya? Kita foto bareng di sana," ujar Kiki sambil tersenyum.
Deni merasa terharu. Meski tidak sampai ke puncak, dukungan teman-temannya membuatnya merasa dihargai. Setelah menikmati golden sunrise dari pos 1, mereka turun bersama.
Perjalanan di Dieng mengajarkan Deni banyak hal tentang persahabatan. Dia mulai melihat bahwa kegagalan bukanlah akhir dari segalanya. Setelah kembali ke Depok, Kiki memberi semangat kepada Deni untuk tetap melanjutkan pendidikan, entah dengan mengulang tahun depan atau mengikuti program paket C.
"Lo masih punya banyak waktu, Den. Jangan menyerah. Gue yakin lo bisa," kata Kiki dengan penuh keyakinan.
Deni tersenyum. Dalam hatinya, dia merasa beruntung memiliki teman-teman seperti mereka. Persahabatan yang tulus dan penuh dukungan itu menjadi kekuatan baru bagi Deni untuk menghadapi masa depan. Apalagi dalam menghadapi penyakit "Mental Health"nya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI