Saya pun segera atur strategi. Memotong jalan. Karena jalan utama agak macet berbarengan dengan bubaran jam sekolah. Kejadian ini memang siang hari. Teman saya juga cerita kalau isi angkotnya anak sekolah semua.
Keyakinan saya tas tersebut aman. Kecuali ada penumpang umum yang naik selanjutnya. Itu lain cerita.
" Kok lewat jalan begini. Enggak bisa lihat angkotnya dong," protes teman saya.
"Udah diem aja. Gue tahu jalur dan puterannya. Perkiraan gue angkot yang Lo naiki udah putar balik."
"Yang bener bukannya ngikuti jalan utama terus nyalip angkot yang di depan. Terus ngejar yang di depannya lagi," protes teman saya.
"Memang. Tapi lihat sendiri kan jalannya begitu? Kapan sampainya. Kalau motong jalan kita bisa langsung sampai putaran dan tahu angkot yang muter. Kita kejar itu. Lo inget kan muka sopir angkotnya?"
"Ya enggak ingatlah. Gue enggak perhatiin. Kan dari tadi gue nge-tap dan WA-an sama Lo."
"Jiaaah."
Makin paniklah saya. Lha, muka sopirnya saja enggak ingat. Apalagi nomor seri angkotnya. Ini sih seperti mengejar fatamorgana.Â
Tapi saya tetap melanjutkan pengejaran. Pokoknya berusaha sepol kemampuan. Saya harus bertanggungjawab atas insiden ini. Jadi harus sampai tuntas pengejarannya. Kalau perlu sampai ke kantornya.
"Itu bukan angkot yang Lo naiki? Perhatikan sopirnya deh. Pasti ingatlah dikit-dikit," kata saya menunjuk angkot di seberang. Sementara saya sudah mendekati putaran di halte Adam Malik, Budi Luhur.