Mohon tunggu...
Denik
Denik Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance

Blogger dan penulis yang senang motoran sambil kuliner, mengunjungi tempat bersejarah, dan olah raga.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pengalaman Naik Motor Mengejar Angkot Jaklingko

27 Januari 2024   07:28 Diperbarui: 27 Januari 2024   10:36 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pak sopir jaklingko 51 yang menyelamatkan tas teman saya (dok. Denik)

Sebagai pengguna motor dalam keseharian. Senang motoran sampai kemana-mana. Jarak bukan halangan. Jauh bukan alasan.

Namun naik motor untuk mengejar angkot? Waduh, belum pernah sama sekali. Untuk apa juga mengejar-ngejar angkot. Mending mengejar kamu. Eaaa.

Rupanya tak ada yang tak mungkin. Meski kita menghindari atau menolak, kalau Tuhan berkehendak. Bisa apa kita?

Hal tersebut yang terjadi pada saya. Akhirnya kisah saya dalam bermotor terselipi juga cerita mengejar angkot.

Kali ini angkot yang saya kejar adalah jaklingko 51 jurusan Taman Kota-Budi Luhur. Jalur keseharian saya kalau naik angkot.

Kok bisa. Bagaimana ceritanya?

Ceritanya teman saya mau main ke rumah. Tapi saya saranin naik angkot saja. Belajarlah naik angkutan umum. Cuma sekali juga naik angkotnya, dan dia setuju. 

Ini kalo kedua teman saya naik angkutan umum. Pertama saya dampingi keliling Jakarta. Biar dia tahu kalau naik angkutan umum itu asik dan seru.

Nah, yang kedua kalinya ini dia sendiri. Saya sudah beritahu di mana turunnya. Nanti saya jemput. Karena angkotnya tidak lewat depan rumah. 

Tapi saya lupa memberitahu untuk jangan memilih duduk di belakang sopir. Nanti kenaan nge-tap kartu penumpang. Bukan apa-apa. Dia kan baru naik angkot. Khawatir bingung atau kesal.

Mesin tap kartu di dalam jaklingko (dok. Denik)
Mesin tap kartu di dalam jaklingko (dok. Denik)
Benar saja. Sepanjang jalan WA kalau sibuk nge-tap kartu. Saya semangati saja.

"Enggak apa-apa. Anggap saja amal."

Awalnya semua lancar-lancar saja. Saya ikuti perjalanannya sampai di lokasi penjemputan. Saya sedang bersiap-siap untuk menjemput eh, dia telepon yang membuat saya panik sendiri.

"Apa? Tas Lo ketinggalan di angkot? Kok bisaaa?!!" teriak saya.

"Gue tadi sibuk nge-tap sama WA-an sama Lo. Begitu sampai di tempat yang Lo suruh gue turun. Gue turun-turun aja. Begitu angkotnya jalan baru deh sadar. Lha, tas gue?"

"Astaga. Lo tuh ye teledor banget. Ya udah ayo naik. Kita kejar angkotnya. Udah ada yang lewat lagi belum?" kata saya begitu ketemu dengan si teman.

"Sudah ada yang lewat satu."

Dengan perasaan berkecamuk saya pacu motor tanpa mempedulikan sekitar. Yang ada dalam benak saya harus mengejar angkot yang ada di depan angkot yang saya lihat.

Pokoknya fokus mengejar angkot. Jangan sampai lolos dari penglihatan. Terbayang dong bagaimana zig-zagnya saya di jalan? Menyalip sana-sini.

Teman saya diam saja. Biasanya paling bawel kalau saya menaikkan kecepatan motor.

"Pelan-pelan sih bawa motornya."

Angkot di depan saya cepat sekali menghilang dari pandangan. Berarti angkot di depannya yang teman saya naiki tadi sudah mendekati arah Budi Luhur. Bisa jadi sudah putar balik. 

Saya pun segera atur strategi. Memotong jalan. Karena jalan utama agak macet berbarengan dengan bubaran jam sekolah. Kejadian ini memang siang hari. Teman saya juga cerita kalau isi angkotnya anak sekolah semua.

Keyakinan saya tas tersebut aman. Kecuali ada penumpang umum yang naik selanjutnya. Itu lain cerita.

" Kok lewat jalan begini. Enggak bisa lihat angkotnya dong," protes teman saya.

"Udah diem aja. Gue tahu jalur dan puterannya. Perkiraan gue angkot yang Lo naiki udah putar balik."

"Yang bener bukannya ngikuti jalan utama terus nyalip angkot yang di depan. Terus ngejar yang di depannya lagi," protes teman saya.

"Memang. Tapi lihat sendiri kan jalannya begitu? Kapan sampainya. Kalau motong jalan kita bisa langsung sampai putaran dan tahu angkot yang muter. Kita kejar itu. Lo inget kan muka sopir angkotnya?"

"Ya enggak ingatlah. Gue enggak perhatiin. Kan dari tadi gue nge-tap dan WA-an sama Lo."

"Jiaaah."

Makin paniklah saya. Lha, muka sopirnya saja enggak ingat. Apalagi nomor seri angkotnya. Ini sih seperti mengejar fatamorgana. 

Tapi saya tetap melanjutkan pengejaran. Pokoknya berusaha sepol kemampuan. Saya harus bertanggungjawab atas insiden ini. Jadi harus sampai tuntas pengejarannya. Kalau perlu sampai ke kantornya.

"Itu bukan angkot yang Lo naiki? Perhatikan sopirnya deh. Pasti ingatlah dikit-dikit," kata saya menunjuk angkot di seberang. Sementara saya sudah mendekati putaran di halte Adam Malik, Budi Luhur.

"Entah. Gue enggak ingat muka sopirnya."

Saya sempat gregetan tuh. Gimana sih? Saya terus saja melaju sampai putaran. Terus melaju lagi mengejar angkot yang sudah putar balik. 

Beberapa kali kehilangan pandangan. Cepat banget laju angkotnya. Memang laju jaklingko 51 bisa dibilang kencang-kencang. Kalau kondisi penumpang kosong bisa seperti dikocok-kocok perut kita.

Saya pernah mengalami. Tinggal sendirian di dalam angkot. Sampai mental-mental duduknya saking kencengnya.

"Sudahlah pulang saja. Enggak usah dikejar lagi. Susah kayaknya. Gue juga enggak ngeh muka sopirnya," kata teman saya pasrah.

"Enggak. Kita langsung ke pool jaklingkonya. Gue tahu tempatnya. Di sana kita cerita kronologis kejadiannya. Masa enggak ditanggapi?" sahut saya dengan penuh keyakinan.

Setidaknya ada yang menghubungi atau menelpon sopir-sopir yang sedang di jalan. Jadi kan tahu pastinya. Itu tas masih ada atau enggak di dalam angkot.

Suasana dalam pool jaklingko 51 (dok. Denik)
Suasana dalam pool jaklingko 51 (dok. Denik)
Motor terus melaju ke arah Meruya. Terus ke  arah pool jaklingko. Tak lama sampailah di sana dan langsung menemui para sopir yang sedang duduk-duduk beristirahat. Sambutan mereka baik. 

"Tunggu di sini dulu saja. Yang dari arah Budi Luhur sebentar lagi masuk."

"Oh, tadi turunnya di komplek DKI? Jauh itu sih. Semoga masih rezeki. Pernah ada yang cuma beberapa kilometer turun dan tasnya sama ketinggalan begini. Penumpangnya langsung ke sini, begitu di cek sudah tidak ada."

Beragam komentar muncul dari para sopir jaklingko. Saya mendengarkan sambil tak putus berdoa. Semoga masih rezeki. Semoga masih rezeki. 

"Pokoknya kalau enggak diambil penumpang lain aman deh. Sopir akan membawa barang yang tertinggal di dalam angkot dan menyerahkan ke petugas di sini. Biasanya ada yang datang begini menanyakan barangnya, " kata sopir lainnya.

Saya merasa lega. Semoga tas teman saya ketemu. Masih rezekinya. Tak berapa lama muncul seorang sopir yang baru masuk ke pool sambil menenteng tas hitam. 

"Itu bukan tasnya?" kata pak sopir yang duduk di samping saya.

"Itu dari arah Budi Luhur mobilnya."

"Ya Tuhan masih rezeki. Terima kasih ya Allah. Iya, bener Pak. Itu tasnya."

Setelah serah terima tas dan melapor ke petugas di sana. Saya kembali meluncur dengan motor kesayangan. Kali ini dengan perasaan lega. Tidak seperti pertama tadi. Perasaan saya tidak karuan.

Pengejaran diakhiri dengan makan siang. Sungguh hari yang mendebarkan. Tapi jadi menebalkan keyakinan. Kalau masih rezeki tak akan kemana deh. Yang penting usaha dulu. Hasil akhir serahkan pada Tuhan. (Denik)

Note: terima kasih pak sopir

Terima kasih Jaklingko 51

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun