Judul di atas menjadi alasan saya ketika memutuskan untuk resign alias mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai guru Taman Kanak-kanak.
Sebuah keputusan yang sangat berat sebenarnya ketika memutuskan untuk resign. Bagaimana tidak? Saya sudah merasa nyaman dengan anak-anak didik dan lingkungan sekolah. Kepala sekolahnya pun sudah percaya dengan kinerja saya. Jadi sekolah dan lingkungannya sudah seperti rumah kedua bagi saya.
Namun takdir mengharuskan saya untuk mengakhiri semua. Saya merasa sedih dan berat sekali saat menulis surat pengunduran diri. Kepala sekolah dan teman-teman guru bergantian memeluk saya begitu mengetahui alasan pengunduran diri tersebut.
"Yang sabar ya, Bu. Semoga ibu senantiasa diberikan kesehatan dan kesabaran," ucap mereka satu per satu sembari mengusap air mata yang menitik.
Mereka sedih. Apalagi saya. Kami harus berpisah karena kondisi. Ya, karena kondisi bapak yang terkena stroke maka saya memutuskan untuk berhenti mengajar. Demi membantu ibu agar tidak terlalu capek mengurus bapak. Sebab stroke kali ini yang terparah.Â
Bapak sudah dua kali terkena serangan stroke. Namun masih stroke ringan sehingga bisa pulih. Dokter sudah mewanti-wanti agar dijaga sekali pola makan dan istirahatnya. Jika terkena lagi kemungkinan sudah tidak bisa sembuh.Â
Benar saja. Akibat kebandelan bapak yang kerap melanggar aturan yang dibuat. Akhirnya stroke kali ini membuat bapak tergeletak tak berdaya di tempat tidur saja. Ibu dengan sabar dan telaten merawat bapak.
Namun karena karena sendirian mengurus bapak yang seperti itu. Ditambah mengurus rumah dan adik yang masih sekolah. Akhirnya kondisi ibu ikut goyah. Meski ibu tak mengeluh. Dari sorot mata ibu tiap kali saya menciumnya sebelum berangkat mengajar, saya tahu ibu menahan letih.Â
Di sekolah saya jadi memikirkan kondisi ibu. Bagaimana kalau ibu ikut ambruk dan jatuh sakit? Siapa yang akan mengurus semuanya? Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya saya pun memutuskan untuk berhenti mengajar.
Awalnya ibu keberangkatan. Apalagi saya adalah tulang punggung keluarga. Setelah saya berikan penjelasan akhirnya ibu bisa memahami.
"Ya, sudah terserah kamu saja," begitu ujar ibu.
Sejak itu saya fokus mengurus bapak bergantian dengan ibu yang mesti mengurus adik juga. Tak apa saya yang lebih banyak mengurus bapak di rumah. Menghentikan semua aktivitas saya lainnya. Saya benar-benar ingin  merawat bapak sampai tutup ajal matinya.
Pokoknya ibu bisa istirahat dan mengurus adik dengan tenang. Ibu juga tetap bisa menghadiri acara pengajian rutinnya seminggu sekali. Bagi saya yang penting ibu tetap sehat dan bahagia meski kondisi bapak seperti itu. Tak mengapa saya mesti mengorbankan waktu dan tenaga demi merawat bapak. Bukankah bapak juga sudah berkorban dan berjuang demi keluarga? Sekarang giliran saya yang berkorban untuk orang tua.
Awalnya memang sempat pusing juga. Terutama urusan keuangan. Berhenti bekerja otomatis berhenti juga pemasukan bulanan. Untuk beberapa bulan ke depan saya sudah atur semua dari uang tabungan. Setelahnya itu yang sempat membuat pusing kepala. Tentu saja tak saya tunjukkan kepada ibu. Biar saya yang menanggung semua sebagai anak tertua pengganti bapak.
Saya tidak marah terhadap bapak yang sebelum stroke sulit sekali diberi nasihat. Bandel kasarannya. Tidak mau berpantang dalam urusan makanan. Saya maklumi  saja. Namanya sudah tua. Tingkahnya  kembali  seperti  anak-anak. Akhirnya begitu. Secara kasat mata jadi menyusahkan keluarga.
Kembali ke masalah keuangan. Bohong kalau saya tak butuh uang. Apalagi dalam kondisi seperti ini. Pengeluaran jadi ekstra karena ada yang sakit. Walau terlihat tenang sebetulnya kepala saya cekot-cekot memikirkan nantinya.
Namun saya sudah mengambil keputusan seperti ini. Maka pantang disesali.Â
"Urusan nanti, nantilah. Pasrahkan semua pada Allah. Karena masa nanti adalah misteri. Jalani saja yang sekarang dengan sebaik mungkin."
Begitu kata hati saya menasihati diri sendiri. Dalam situasi seperti itu tiba-tiba muncul ide untuk berjualan kue. Meski tidak jago-jago amat, tapi bisalah. Dengan bantuan ibu tentunya lebih siip.
Maka saya utarakan ide tersebut kepada ibu. Begitu ibu setuju saya segera membuat brosur dan menyebar luaskan. Ya, dengan modal nekad saya berani menerima pesanan kue. Ibu sih yang sebagian besar membuat kuenya. Saya bagian menerima order dan mengantarkan pesanan. Saya ikut membuat kue juga meski hanya beberapa macam.Â
Intinya mulai ada celah untuk urusan pemasukan. Setidaknya adalah daripada tidak sama sekali. Saya jalani semua dengan sabar. Orang Jawa bilang ditelani wae mengko yo bakalan manen hasil.Â
Artinya dijalani saja. Nanti juga akan ada hasil. Maka begitulah. Saya merawat bapak sambil merintis usaha kue.Â
Sampai akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Di mana waktu bapak bersama kami telah habis. Allah memanggil bapak kembali pulang keharibaan-NYA setelah diberi cobaan sakit.Â
Hari perpisahan itu sungguh tak akan saya lupakan sampai kapan pun. Bagaimana tidak? Saya menyaksikan sendiri bagaimana nafas bapak tersengal-sengal sebelum ajal menjemput. Karena saya yang setiap saat mengecek kondisi bapak. Jadi saya yang pertama mengetahui kondisi bapak.
"Bu, Bu! Cepat ke sini, Bu. Bapak, Bu!" teriak saya saat melihat kondisi bapak.
Ibu segera datang dan mentaklin bapak. Saya tak kuasa menahan tangis. Begitu juga dengan adik saya. Kami memeluk bapak sambil menangis.
"Jangan menangis. Nanti langkah bapakmu jadi berat," ujar ibu.
Saya segera mengusap air mata ini. Tergugu menahan sesak di dada. Saya lihat nafas bapak masih tersengal-sengal. Matanya terpejam namun ada air mata yang menetes. Keningnya berkerut seolah menahan sakit. Mungkin inilah yang disebut sakaratul maut.Â
Dengan menguatkan batin ini saya kecup kening bapak sambil berbisik lembut.
"Bapak pergilah dengan tenang. Saya ikhlas. Saya tidak apa-apa kok Pak. Saya akan menjaga ibu dan adik-adik."
Saya kecup kening bapak dengan penuh perasaan. Setelah itu nafas bapak tak tersengal-sengal lagi. Berhenti dengan lembut dan raut wajahnya tidak tegang lagi. Ibu segera memegang tangan bapak dan memeriksa denyut nadinya.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Bapak sudah pergi."
Tangis saya pun pecah. Dada ini sesak bukan main menahan perasaan. Itulah hari terakhir saya merawat bapak. Setelah mengabari sanak keluarga dan tetangga sekitar. Jenazah bapak diurus oleh tim kematian.
Sejak hari itu saya menjadi seorang yatim. Kehilangan bapak dalam kondisi tak memiliki pekerjaan tetap. Rasanya beban di pundak ini berat sekali membayangkan semua. Namun saya sudah berjanji kepada bapak bahwa akan kuat dan baik-baik saja. Maka saya pun harus tegar menjalani semua.
Dalam kesedihan karena ditinggal oleh bapak untuk selama-lamanya, ada kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan. Sebab saya bisa mendampingi dan melepas bapak sampai ajal menjemput. Itu memang keinginan saya pribadi. Oleh karenanya saya rela berhenti mengajar.Â
Saya tidak ingin mendengar kabar kematian orang tua lewat telepon. Saya ingin ada di samping orang tua dan memeluk mereka ketika ajal menjemput. Dan keinginan itu pun terwujud meski harus ada yang dikorbankan.
Bukankah hidup memang penuh dengan pilihan? Saya tidak menyesal dengan pilihan tersebut
Saya yakin Allah akan mengganti pengorbanan dan bakti kita terhadap orang tua. Memang benar adanya. Satu bulan setelah kepergian bapak, saya mendapat tawaran mengajar lagi. Kali ini mengajar les. Saya terima tawaran tersebut dan jalani semua sampai sebelum pandemi.Â
Saya tuntaskan janji kepada bapak bahwa semua akan baik-baik saja. Semoga bapak di sana bisa tenang dan tersenyum melihat kami. Aamiin. (EP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H