Sampai akhirnya tibalah hari perpisahan itu. Di mana waktu bapak bersama kami telah habis. Allah memanggil bapak kembali pulang keharibaan-NYA setelah diberi cobaan sakit.Â
Hari perpisahan itu sungguh tak akan saya lupakan sampai kapan pun. Bagaimana tidak? Saya menyaksikan sendiri bagaimana nafas bapak tersengal-sengal sebelum ajal menjemput. Karena saya yang setiap saat mengecek kondisi bapak. Jadi saya yang pertama mengetahui kondisi bapak.
"Bu, Bu! Cepat ke sini, Bu. Bapak, Bu!" teriak saya saat melihat kondisi bapak.
Ibu segera datang dan mentaklin bapak. Saya tak kuasa menahan tangis. Begitu juga dengan adik saya. Kami memeluk bapak sambil menangis.
"Jangan menangis. Nanti langkah bapakmu jadi berat," ujar ibu.
Saya segera mengusap air mata ini. Tergugu menahan sesak di dada. Saya lihat nafas bapak masih tersengal-sengal. Matanya terpejam namun ada air mata yang menetes. Keningnya berkerut seolah menahan sakit. Mungkin inilah yang disebut sakaratul maut.Â
Dengan menguatkan batin ini saya kecup kening bapak sambil berbisik lembut.
"Bapak pergilah dengan tenang. Saya ikhlas. Saya tidak apa-apa kok Pak. Saya akan menjaga ibu dan adik-adik."
Saya kecup kening bapak dengan penuh perasaan. Setelah itu nafas bapak tak tersengal-sengal lagi. Berhenti dengan lembut dan raut wajahnya tidak tegang lagi. Ibu segera memegang tangan bapak dan memeriksa denyut nadinya.
"Innalilahi wa innailaihi rojiun. Bapak sudah pergi."
Tangis saya pun pecah. Dada ini sesak bukan main menahan perasaan. Itulah hari terakhir saya merawat bapak. Setelah mengabari sanak keluarga dan tetangga sekitar. Jenazah bapak diurus oleh tim kematian.