Kedudukan P3N dalam Regulasi
Sekalipun soal P3N ini sudah diatur dalam regulasi jauh sebelum PMA No. 11/2007 tentang Pencatatan Nikah terbit, namun untuk keperluan pembahasan soal ini ulasannya akan dimulai dari PMA No.11/2007 dan peraturan turunannya sampai dengan terbitnya regulasi terkini, yakni PMA No. 20/2019 tentang Pencatatan Pernikahan.
Disebutkan dalam Pasal 1 Butir 4 PMA No. 11/2007 tentang Pencatatan Nikah, Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N) adalah anggota masyarakat tertentu yang diangkat oleh Kepala Kantor Departemen Agama (Kandepag) kabupaten/kota untuk membantu tugas Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di desa tertentu. Proses pengangkatannya (juga pemberhentian dan penetapan wilayah tugasnya) dilakukan dengan Surat Keputusan Kepala Kandepag kabupaten/kota atas usul Kepala KUA dengan mempertimbangkan rekomendasi Kepala Seksi yang membidangi urusan agama Islam. Adapun Posisi Kepala Desa/Lurah hanya sebagai pihak yang diberi tembusan pemberitahuan keputusan tersebut (Pasal 3: Ayat 1-3).
Sekalipun menurut PMA tersebut, pengangkatan dan pemberhentian P3N itu di-SK-kan oleh Kepala Kandepag kabupaten/kota, namun dalam kenyataannya legalitas SK itu tidak selalu digubris oleh Kepala Desa. Indikasinya, saat ada pergantian Kepala Desa, selain mengganti perangkat desa, Kepala Desa yang baru pun biasanya mengganti P3N juga. Akibatnya, pasca Pilkades, P3N seringkali mendatangi KUA untuk mengadukan nasibnya sekaligus mempertanyakan kekuatan legalitas SK dari Kepala Kandepag (sekarang, Kan.Kemenag) yang padahal belum habis masa tugasnya. Â
Sehubungan demikian, pada tanggal 10 Februari 2009 terbit Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. Dj.II/113/2009 tentang penggunaan Dana PNBP Nikah Rujuk dan Penataan P3N. Dalam butir kedua instruksi tersebut, Dirjen. Bimas Islam menginstruksikan kepada Kepala Kanwil Depag Provinsi se-Indonesia agar melakukan penghentian pengangkatan P3N yang telah habis masa khidmatnya dan tidak mengangkat P3N yang baru, kecuali daerah-daerah yang sangat memerlukan, itu pun harus dengan persetujuan tertulis dari Dirjen. Bimas Islam.
Untuk memperjelas maksud P3N dalam PMA No.11/2007 sekaligus menghapus keberlakuan Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. Dj.II/113/2009, pada tanggal 26 Januari 2015 terbit Instruksi Dirjen. Bimas Islam No. DJ.II/I/2015 tentang Pengangkatan P3N.
Instruksi Dirjen Bimas Islam tahun 2015 di atas ditujukan kepada Kepala Kanwil Kemenag se-Indonesia, yang antara lain berisikan keharusan memperhatikan tiga hal dalam penerbitan rekomendasi pengangkatan P3N, yaitu:
1.KUA Kecamatan tersebut masuk dalam tipologi D1 (daerah di pedalaman dan atau wilayah pegunungan) dan D2 (daerah terluar/perbatasan negara, dan atau kepulauan) yang ditetapkan oleh Kepala Kanwil Kemenag Provinsi dan tidak dapat dijangkau oleh Pegawai Pencatat Nikah karena terbatasnya SDM dibanding dengan luas wilayahnya;
2.P3N berdomisili di desa dimaksud;
3.Kemampuan dan kompetensi calon P3N di bidang hukum dan administrasi pernikahan.
Berdasarkan Instruksi Dirjen. Bimas Islam tersebut, P3N dari KUA Kecamatan tipologi A, B, dan C dihapus, karena tidak termasuk dalam kategori P3N sebagaimana dimaksud dalam PMA 11/2007, sehingga dengan sendirinya pengangkatannya (juga pemberhentian dan penetapan wilayah tugasnya) tidak lagi oleh Kepala Kandepag kabupaten/kota, melainkan diserahkan kepada Kepala Desa/Lurah.
Pada tanggal 27 Agustus 2018 terbit PMA No.19/2018 tentang Pencatatan Perkawinan menggantikan PMA No.11/2007 yang dinilai sudah tidak sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat sehingga perlu disempurnakan. Dalam PMA No.19/2018, istilah P3N diganti menjadi P4 (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan) yang diberi pengertian sebagai anggota masyarakat yang diangkat oleh Kepala Kantor Kemenag kabupaten/kota untuk membantu tugas Penghulu dalam hal pelaksanaan akad dilaksanakan di daerah terdalam, terluar, dan di daerah perbatasan.
Rincian teknis tentang P4 tertuang dalam Keputusan Dirjen Bimas Islam No.977 tahun 2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan P4. Dalam Bab II Kep.Dirjen. Bimas tersebut disebutkan bahwa P4 memiliki tugas membantu penghulu dalam menghadiri dan menyaksikan peristiwa perkawinan serta berkedudukan pada KUA Kecamatan tipologi D1 dan D2 dengan jumlah maksimal 5 (lima) orang/KUA.
Adapun syarat untuk diangkat menjadi P4 (Bab III) adalah sebagai berikut: