Mohon tunggu...
Deni Firman Nurhakim
Deni Firman Nurhakim Mohon Tunggu... Penulis - Santri dengan Tugas Tambahan sebagai Kepala KUA

Penghulu Kampung yang -semoga saja- Tidak Kampungan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kedudukan "Amil": Perspektif Sejarah dan Regulasi

27 April 2021   14:52 Diperbarui: 27 April 2021   15:41 4084
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara faktual, Amil adalah jabatan yang diemban oleh tokoh masyarakat setempat untuk membantu urusan pernikahan, pemulasaraan jenazah, penghimpunan dan pendistribusian zakat, serta kegiatan keagamaan lainnya di tingkat dusun/desa.

Kedudukan Amil di tengah masyarakat terbilang strategis, karena tugasnya meliputi peristiwa penting masyarakat, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian.

Menilik strategisnya posisi Amil tersebut, maka tugasnya di bidang pernikahan diakui oleh Pemerintah melalui berbagai regulasi yang diterbitkan dengan sebutan "P3N" (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), kemudian diubah menjadi "P4" (Pembantu Pegawai Pencatat Perkawinan), dan kembali lagi menjadi "P3N" (Pembantu Pegawai Pencatat Nikah).

***

Kedudukan Amil dalam Lintasan Sejarah

Berdasarkan penelitian sejarah yang dilakukan oleh Ibnu Qoyim Ismail (1997:67),  sebutan "Amil" itu diperuntukan bagi Penghulu yang bertugas di Tingkat Desa. Selain sebutan "Amil", nama lain yang disematkan kepada seseorang yang memangku tugas kepenghuluan di Tingkat Desa itu adalah Modin, Kaum, Kayim, dan Lebe.

Secara lengkap, tingkatan jabatan Penghulu di Jawa dapat digambarkan sebagai berikut:

Tingkat Pusat:Penghulu Ageng
Tingkat Kabupaten:Penghulu Kepala/Hoofdpenghulu/Hooge Priester/Penghulu Landraad/Khalifah
Wakilnya:Ajung Penghulu/Ajung Khalifah
Tingkat Kawedanaan:Penghulu/Naib dan Wakilnya Ajung Penghulu
Tingkat Kecamatan:Penghulu/Naib
Tingkat Desa:Modin/Kaum/Kayim/Lebe/Amil.

Pada masa kekuasaan tradisional Jawa (Ismal,1997:69), tugas yang diemban oleh Penghulu cukup luas, terlebih lagi Penghulu saat itu adalah sebagai pelaksana pemerintah di bidang kehakiman. Bidang kehakiman ini tidak terbatas pada masalah pernikahan, perceraian, talak, dan rujuk serta kewarisan, zakat, wakaf saja, akan tetapi yang menyangkut pidana dan perdata pun merupakan bagian dari pekerjaan Penghulu bersama Jaksa. Tempat dan ruang kerjanya terletak di serambi masjid, sehingga di masa itu dikenal sebutan Pengadilan Serambi (Masjid).

Saat Pemerintah Belanda berkuasa, peran Penghulu dibatasi dan dikurangi secara berangsur-angsur, antara lain dengan membentuk Pengadilan Negeri (landraad) dan memindahkan sebagian kegiatan Pengadilan Serambi ke Landraad.

Belakangan, pasca kemerdekaan, seperti bisa dilihat dalam UU No. 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, Penghulu disebut juga sebagai Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Dan dalam perkembangannya kemudian, untuk membedakannya dengan Penghulu tingkat kecamatan, Amil selaku Penghulu tingkat desa disebut juga sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah (P3N). Istilah P3N/PPPN inilah yang hingga kini tetap bertahan untuk menyebut Amil/Lebe/Kayim/Kaum/Modin yang bertugas membantu masyarakat dalam urusan pernikahan, mulai dari hulu hingga hilirnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun