Setiap orang memiliki ketakutan, hidup dalam ketakutan, hingga pada akhirnya mereka tenggelam dalam ketakutan itu sendiri. Sebagian menganggap hal itu wajar, sebagian tidak. Ada orang yang menutupi, ada pula yang terang-terangan menunjukkan ketakutan tersebut. Namun, dia menganggap ketakutan adalah bagian yang tidak bisa ditutupi, tidak juga bisa ditunjukkan begitu saja.Â
Ketakutannya merupakan sesuatu yang wajar, sekaligus tidak wajar. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu. Ia menatap bayangannya di cermin, matanya berkaca-kaca. Ketakutannya, seperti hantu yang tak pernah pergi, selalu mengintai di balik pikirannya. Kadang terasa begitu nyata, hingga ia merinding sendiri. Dia ingat betul pertama kali merasakan ketakutan yang begitu mendalam.
 Â
 Saat itu, ia masih SD, anak pindahan dari luar kota. Hari pertama dan kedua, tidak ada hal yang aneh dan ia merasa nyaman didalam kelas. Tapi seiring berjalannya waktu mulai banyak hal yang menganggunya, setiap ia pergi ke perpustakaan ia mendapatkan gangguan dari kakak kelasnya yang suka membully.Â
Kejadian tersebut terjadi, dihari Jumat siang waktu ia pulang sekolah, kakak kelas tersebut sudah mengincarnya, tapi dia pikir bukan dia yang akan diganggu maka dari itu ia berjalan santai di lorong sekolah menuju gerbang sekolah, setibanya ditengah lorong sekolah segerombolan kakak kelas tersebut menghampir dia dan salah satu dari mereka mengucapkan kata-kata yang membuatnya sakit hati, tak hanya itu saja mereka semua menertawakan dia, sampai terdengar oleh setiap siswa yang lewat di lorong tersebut.Â
Bukan hanya ejekan, tapi mereka juga mengambil isi tasnya, ia keluarkan buku-buku yang ada di dalam tasnya. Sejak saat itu, ketakutan itu tumbuh subur dalam dirinya, seperti akar yang menembus retakan di dinding hati. Dia mencoba berbagai cara untuk mengatasi ketakutannya. Ia membaca buku-buku tentang psikologi, mengikuti terapi, bahkan mencoba hobi baru.Â
Namun, ketakutannya selalu kembali, seperti ombak yang tak pernah berhenti menerjang pantai. Oliva selalu terjebak dalam ketakutan, tak pernah ia keluar dalam ketakutan tersebut. Kejadian itu terus ia ingat saat bertemu dengan segerombolan orang, bukan cuma satu kejadian yang pernah buat dia ketakutan. Saat Oliva masuk kelas 7 SMP, ia pikir tak akan ada hal seperti dulu lagi.Â
Oliva merasa tenang, dia berusaha untuk berkomunikasi dengan teman kelasnya dan bermain bersama. Hal tersebut sama sekali tak berhasil ketakutan Oliva terus menghantui dia. Sampai Oliva memasuki masa remaja berumur 17 tahun, sekolah seperti biasa tapi berbedanya ia sudah mempunyai satu teman.Â
Laras teman Oliva, ia berteman cukup lama dari awal masuknya masa SMA sampai ia berada dikelas yang sama selama 2 tahun. Dalam pertemanan mereka banyak yang merasa iri, Laras yang selalu ada untuk Olivia dan sebaliknya juga. Banyak yang menduga bahwa mereka berdua seorang kakak beradik.Â
Hal tersebut mendukung Oliva untuk melawan ketakutannya, ia mulai dengan menemani Olivia pergi kemana pun. Seiring berjalannya waktu, ternyata Laras harus pindah ke Surabaya, karena ayah Laras harus bekerja disana tak ada pilihan lain selain mengikuti perkataan ayah dan ibunya.Â
Laras dan Olivia terpaksa harus berpisah, Laras berjanji pada Olivia bahwa ia akan kembali ke kota ini dan berteman seperti dulu. 2 Bulan semenjak Laras pergi, Oliva kembali merasa kesepian dan ketakutannya mulai merayap kembali.