Tentang hal ini, Mangunwijaya (1988) mengemukakan bahwa sastra tumbuh dari suatu religi. dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra merupakan turun langsung dari religiositas (nilai religius).
Unsur-unsur moral dalam karya sastra dapat diterapkan dalam bersikap dan berpikir di lingkungan masyarakat, khususnya dunia pendidikan.Â
Secara sosial, membaca karya sastra merupakan hasil penelitian penulis dalam masyarakat yang dituangkan dalam bentuk tulisan.Â
Kinayati Djojosuroto (2000) mengatakan bahwa sastra merupakan pengungkapan hidup dan kehidupan yang dipadu dengan imajinasi dan kreasi seorang pengarang serta dukungan pengalaman dan pengamatannya atas kehidupan tersebut.
Sastra tidak saja lahir karena fenomena-fenomena kehidupan yang lugas tetapi juga dari kesadaran penulisnya bahwa sastra sebagai sesuatu yang imainatif, fiktif, juga harus melayani misi-misi yang dapat dipertanggungjawabkan serta bertendens.Â
Sastrawan ketika menciptakan karyanya tidak saja didorong oleh hasrat untuk menciptakan keindahan tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikirannya, pendapat-pendapatnya, kesan-kesan perasaannya terhadap sesuatu.Â
Beris Pasternak dalam Suyitno (1986:3) mengatakan bahwa sastrawan harus berdiri dalam kehadiran nilai-nilai yang terangkum dalam kehidupan semesta.
Berkaitan dengan pendidikan, belajar karya sastra memiliki arti belajar tentang kehidupan. Pesan moral yang diterapkan dapat mempengaruhi sikap dan proses berpikir yang lebih terarah.Â
Dalam dunia pendidikan pula, khusunya bidang studi bahasa Indonesia, karya sastra menjadi bagian yang tak terpisahkan.Â
Oleh sebab itu, karya sastra akan mempengaruhi sikap dan pola pikir siswa yang mempelajarinya. Dalam konteks bacaan sastra, Sumiati (1972:2) menjelaskan bahwa bacaan sastra merupakan bacaan yang indah dan baik isinya serta mampu membangkitkan impresi tertentu pada batin pembaca.Â
Artinya, membaca karya sastra dapat memberikan dorongan untuk melakukan hal sesuai isi bacaan, apakah ke arah yang positif atau ke arah yang negatif.