Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Hari Guru: Muridku, Malaikatku

25 November 2021   09:00 Diperbarui: 25 November 2021   09:04 3129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Muridku, Malaikatku

Oleh: A. Deni Saputra

 

Lampu malam masih temaram, jam dinding sudah menunjukkan pukul 11 malam. Suara jemari tangan masih terdengar memukul-mukul keyboard komputer. Di samping kiri komputer tampak buku-buku pelajaran menumpuk. Di samping kanan, terdapat botol minum yang terlihat hampir setengahnya lagi, ditemani secangkir capucino. Sambil komat-kamit seorang laki-laki menatap tulisan yang ada di layar komputer. Buku sesekali dipegang dan ditaruh kembali.

"Sudah slide terakhir," gumamnya.

Botol minum pun sudah kosong. Capucino hanya meninggalkan aromanya di cangkir. Namun, mata lelaki itu masih semangat memandang layar komputer. Dia seorang guru di salah satu sekolah swasta terkemuka di perbatasan Jakarta-Bekasi. Usia masih muda, berkaca mata, dan penunggu malam. Namanya adalah Bara. Ia masih memiliki semangat yang mem-Bara.

"Akhirnya selesai juga," sambil menekankan jari telunjuk ke tombol enter.

Malam membawamu ke alamnya

Berimajinasi semaunya

  

Bara mengakhiri pekerjaannya dengan menulis sebait puisi yang selalu dilakukannya setiap malam. Dan waktu pun sudah menunjukkan pukul 1 malam. Bara sudah mematikan komputernya untuk pergi ke alam imajinasinya. Mengistirahatkan fisik dan hatinya. Malam terus melaju dan meninggalkan kegelapan.

Pagi tampak terang. Matahari terpaksa tersenyum. Polusi udara pagi yang muncul dari berjuta kendaraan dari orang yang berangkat kerja. Bara dengan gontainya berangkat kerja untuk menemui murid-murid tercintanya. Lokasi tempat tinggalnya tidak begitu jauh dari sekolahnya. Ia sengaja menyewa satu rumah yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Selain tidak mesti menaiki kendaraan, ia bisa mengajak siswanya tuk belajar tambahan di rumah sewaannya.

Bara bergegas masuk ruangan untuk menyiapkan bahan mengajarnya. Pekerjaan rutin yang dilakukannya sebelum masuk kelas, ia harus menemui murid-muridnya untuk menyapa dan menanyakan peristiwa apa yang sudah ditulis oleh murid-muridnya semalam.

"Di, apa yang bisa kamu ceritakan ke Bapak pagi ini?" tanya Bara kepada Audi, salah satu murid yang selalu diajaknya sharing.

"Pak, maaf, semalam saya hanya menulis satu bait puisi saja. Entah kenapa sepertinya semalam mataku tak bisa diajak berteman."

"Tidak apa-apa. Menulis itu tidak harus dipaksakan. Sini puisinya."

Malam ini tak ada bintang

Tak ada rembulan

Bahkan angin pun tak datang

Malam ini hanya kegerahan

Akibat dari pemanasan global 

Dan kemarau yang berkepanjangan

Audi Satria --

"Sudah mulai terarah kata-katanya. Bagus kok."

"Yang lain mana? Sani? Vito?"

"Saya tidak buat, Pak. Banyak pekerjaan rumah." Kata Vito sambil tersenyum.

"Cerpen saya nanti di kelas ya, Pak," ujar Sani.

"Oke. Nah sudah mau bel. Kembali ke kelas ya."

Barata Saputra, nama lengkap dari sosok guru muda tersebut. Dengungan bel menusuk gendang telinga. Siswa berlarian mengejar ketepatan waktu. Mereka duduk rapi dengan buku Bahasa Indonesia sudah siap untuk dibuka di atas meja. Kelas hening, hanya sesekali suara pulpen yang dipukul-pukul ke meja. Suara bisik pun masih terdengar dari belakang ke depan kelas.

"Selamat pagi," sosok guru muda masuk dengan semangat kemudaannya.

Riuh jawaban anak-anak tak kalah semangat dengan gurunya yang masuk ke kelas mereka.

Bara mengajar kelas V sekolah dasar. Ia menjadi salah satu wali kelasnya. Kedekatan Pak Guru Bara dengan murid-muridnya menjadi salah satu tujuan untuk meningkatkan prestasi muridnya. Terkadang Bara bersikap tegas jika ada murid yang tidak disiplin. Ia bisa menempatkan diri dalam kedekatannya tersebut.

"Richi ..."

"HARI INI MENJADI PEMBACA, BESOK MENJADI PEMIMPIN." Dengan lantang Richi meneriakkan kata-kata mutiaranya.

"Salwa ..."

"SAMBUTLAH HARI ESOK DENGAN SENYUM YANG TULUS."

"Senyum terus disangka gila dong," kata Vito yang meriuhkan seisi kelas.

"Hahaha eit jangan marah, harus senyum," ujar Audi.

Salwa yang tadinya bermuka cemberut menjadi tersenyum kembali.

"Sudah anak-anak, itu kata bijak yang bagus dari Salwa. Senyumlah dengan tulus dalam menghadapi apapun."

Kata-kata bijak dari para muridnya merupakan awal dari pembelajaran Bahasa Indonesia. Murid-murid sudah mengetahui kebiasaan itu. Hal tersebut membuat semangat untuk belajar Bahasa Indonesia. Kebiasaan-kebiasaan yang diterapkan Bara membuat murid menjadi lebih senang dalam belajar.

"Pak, kami sudah siap untuk latihan menulis."

Daun kering berjatuhan menghempas tanah yang sedang menikmati candaan anak-anak berseragam merah. Beberapa anak terlihat asyik berdiskusi. Bara sedang memberi pengarahan kepada Farah tentang tulisannya. Sekelompok siswa tersebut adalah klub menulis Writer Camp yang dibina oleh Bara.

Saat kembali ke kelas, Bara menemukan satu buku di bawah pohon milik siswa yang tertinggal. Tidak bernama. Bara pun membuka buku tersebut lembar demi lembar. Tulisannya tidak asing, bahasanya pun tertulis rapi dan bagus. Namun, betapa terkejut hati Bara ketika membaca satu lembar tulisan yang menceritakan tentang kehidupan pribadinya, tentang keluarganya. Di bawah tulisan tersebut tercantum satu buah nama, yaitu DINDA SALSABILA.

Bara pun mendekati Dinda dan mengembalikan buku yang ditemukannya.

"Kamu mau cerita?"

"Saya harus bertahan, Pak."

"Kamu bisa."

Bara belajar dari Dinda mengenai motivasi hidup, bagaimana ia harus bertahan dengan ujian hidup yang luar biasa. Dinda, siswa yang didiagnosis memiliki penyakit kanker stadium 4. Dokter mengatakan hidupnya tidak akan lama lagi. Dalam keseharian, Dinda tak pernah mengeluh. Ia adalah  salah satu siswa yang aktif, pintar menulis, dan dekat dengan guru. Kata-kata motivasi yang dibuat siswa di kelas dan diucapkan lantang merupakan salah satu penyemangat hidup Bara juga.

Hari demi hari berlalu, embun pagi masih tampak bening tak terjamah polusi. Sudah beberapa hari Dinda tidak masuk, ia hanya menitipkan sebuah buku untuk Bara.

"Pak, buku ini adalah pesan terakhir dari Dinda," kata Sani.

Dinda, terbaring lemah di sebuah rumah sakit. Ia tetap bertahan untuk selalu tersenyum. Di samping tempat tidurnya tidak pernah ketinggalan sebuah buku harian dan pulpen. Puisi ataupun kata-kata motivasi yang Bara ajarkan selalu dituangkannya dalam buku itu. Dengan berat  Bara terima buku harian Dinda. Bara menyempatkan waktu untuk menemui Dinda. Dengan menahan air mata, dan tetap menyunggingkan senyum ceria ketika mengampiri Dinda.

"Pak, bagaiamana dengan tugas cerpennya?"

Deg, Bara terkejut mendengar ucapan Dinda. Dalam kondisi yang sedang sakit, Dinda masih memikirkan tugas sekolah.

"Sehat dulu ya, nanti Bapak berikan waktu tambahan," ucap Bara.

Dinda tersenyum, ia begitu senang dengan kehadiran Bara di ruangannya. Ibunya Dinda pun mengatakan salah satu guru yang ditunggu adalah Bara. Hidup penuh semangat karena kata-kata motivasi, teman-teman, dan dekapan guru dari seorang Bara.

"Terima kasih, Pak, sudah hadir di sini," kata Ibu Dinda.

Bara melihat arloji yang ada di tangannya, sudah dua jam ia bergurau dengan Dinda. Bara pun berpamitan agar Dinda bisa beristirahat. Dinda yang ceria, hanya bisa berbaring dengan selang-selang penahan dan pemacu hidupnya.

"Semangat ya, Din. Senin depan kita ketemu kembali di taman sekolah," ucap Bara dengan penuh harap.

"Baik, Pak."

Bara melewati lorong-lorong rumah sakit. Bara menelepon teman-teman Dinda untuk berkumpul di taman sekolah. Bara ingin membuat sebuah motivasi hidup untuk Dinda dari teman-temannya. Kelas menuluis yang dihadiri banyak sekali siswa hadir di taman.

Setelah pembuatan motivasi, Bara mendapat kabar,

"Pak, Dinda sudah pergi ..."

Dinda ....

Gadis mungil nan riang kini telah terbaring dalam kedamaian
Senyummu mengantarkan tangisan
Kami berduka
Kami berbangga
Kamu melewati tanpa keluh kesah
Gadis cantik nan rupawan
Dengan hati yang menawan
Kini telah duduk di atas singgasana surga
Kami terpana
Kami percaya
Cintamu terukir pada hati sahabat semua

Gadis yang cerdas itu kini tak dapat bertanya,
Hanya diam tapi merasa
Kami akan terus mencipta doa
Agar asa dapat terwujud jua

Seorang guru bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan kepada siswanya, ia memberikan nafas kehidupan bagi siswanya. Berikanlah cinta dan ketulusan, peluklah generasi penerus bangsa, maka kehidupan akan penuh Bahagia.

Selamat Hari Guru

Cerita ini dikenang untuk salah satu siswa saya yang sudah tiada beberapa tahun lalu. Selamat jalan, Bahagia di surga-Nya.

Bekasi, 25 November 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun