Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sastra: Titik Perempuan Subaltern dalam Novel "Cerita Calon Arang" Karya Pramoedya Ananta Toer

22 November 2021   08:35 Diperbarui: 22 November 2021   08:40 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Subaltern dalam Novel Cerita Calon Arang

Oleh: ADS

Perempuan subaltern sebagai sejarah kolonialisme harus dibuka kembali oleh kaum feminis. Feminisme harus dapat mengakses perempuan subaltern sebagai sejarah dengan postkolonial sebagai wacana untuk membuat strategi perlawanan. 

Golongan subaltern yang dibungkam oleh kekuasaan kolonial atau kelas dominan, baik asimh maupun pribumi, dapat dianalisis oleh deminisme untuk memperjuangakn dan membuka suara kaum perempuan. 

Perempuan subaltern yang direpresentasikan sebagai golongan rendah dan terpinggirkan sehingga suaranya pun tidak mampu untuk didengar oleh orang lain. 

Sebagaimana yang dikatakan oleh Spivak bahwa golongan subaltern masih diragukan dalam suaranya melakukan perlawanan atas ketertindasannya. Parry Nelcak pemosisian Gayatri Spivak terhadap golongan subaltern yang menghasilkan wacana sebagai berikut.

Artikulasi subjek perempuan di dalam norma individualisme feminis yang muncul sepanjang masa imprealisme, perlu meniadakan perempuan pribumi, yang diposisikan pada perbatasan antara manusia dan hewan sebagai objek misi sosial atau pembentukan-jiwa imprealisme. (Parry, 1996: 38-29)

Posisi perempuan pribumi pada masa kolonial disamaratakan dengan posisi hewan yang tidak memiliki makna "penting" bagi kehidupan golongan dominan. Objek sejarah kaum perempuan dimunculkan sebagai pelengkap dalam masa kolonialisme. 

Kekuasaan kolonial atau kelas dominan pribumi menganggap bahwa kaum perempuan menjadi beban kehidupannya. Mereka tidak akan pernah melibatkan kaum perempuan atau golongan subaltern lainnya untuk meningkatkan aspek kehidupan demi kepentingan pribadi atau negara.

Saat berhubungan dengan kaum petani dan kelompok masyarakat lain, seperti masyarakat Italia atau India pada abad ke-19, yang belum secara penuh menjadi kapitalistik, bahasa subalternisasi secara umum mungkin lebih sesuai daripada istilah kelas. 

Penggunaan istilah kelas 'subaltern' oleh Gramsci selanjutnya mengajak kita mengapresiasi properti umum kelompok subordinat tersebut secara utuh-fakta bersama mengenai subordinasi, kelemahan intrinsik, serta kekuatan-kekuatan mereka yang terbatas. Karakter revolusioner proletar industrial yang istimewa secara koresponden direndahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun