Pendahuluan
Hampir setiap negara di dunia memiliki bilingualisme sebagai suatu kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Bilingualisme telah menjadi sesuatu yang mesti diperhatikan dalam membahas kebahasaan yang digunakan penduduk dalam berinteraksi. Selain itu, bilingualisme telah menjadi sendi atau bagian dari pergaulan dan kehidupan masyarakat. Ia telah memberikan corak perilaku berbahasa bagi kalangan penduduk yang pergaulan sehari-harinya menggunakan lebih dari satu bahasa.
Di Indonesia, dapat kita rasakan adanya biligualisme, yaitu penguasaan dua bahasa oleh suatu penduduk (bahasa daerah dan bahasa Indonesia). Bahkan, selain kedua bahasa tersebut, ada pula yang menguasai bahasa asing. Keadaan tersebut membuat kita menjadi ingin mengenal lebih jauh mengenai situasi bilingual itu dalam berbagai aspek.
Masyarakat kita, seperti yang telah disebutkan, tidak sedikit yang menguasai dua bahasa atau lebih. Kadang hal tersebut membuat mereka bingung dalam memilih bahasa mana yang akan digunakan. Hal itu terjadi karena kuang pekanya mereka terhadap situasi yang sedang dihadapi.
Bilingualisme sangat penting diperhitungkan dalam tindakan pendidikan di sekolah. Kebijaksanaan pendidikan, pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah terutama bahasa, perlu memperhitungkan bilingualisme guna memperoleh hasil belajar mengajar yang efektif dan efisien secara pendidikan.
Kerangka Teori
Sebelum kita membicarakan mengenai pengaruh bilingualisme terhadap si penuturnya (dwibahasawan), ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu konsep bilingualisme.
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut kedwibahasaan. Maka, orang yang menggunakannya disebut dwibahasawan. Mackey, dalam Fishman (1972: 554-555) melihat bahwa bilingualisme (kedwibahasaan) bukanlah gejala bahasa, melainkan karakteristik penggunaannya. Ia bukan ciri kodemelainkan penyampaian amanat atau pesan (massage). Ia tidak termasuk ranah langue, melainkan parole. Menurutnya, bilingualisme merupakan penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Usaha untuk menjelaskan pengertian bilingualisme dengan terperinci dilakukan oleh Mackey, dengan mengemukakan hal-ihwal tingkat, fungsi, pergantian, dan interferensi yang terkandung dalam pengertian bilingualisme. Tingkat, maksudnya sejauh mana ia menjadi dwibahasawan. Fungsi, maksudnya untuk apa ia menggunakan bahasa-bahasa itu. Pergntian, maksudnya seberapa luas ia mempertukarkan bahasa-bahasa itu. Interferensi, maksudnya bagaimana seorang dwibahasawan menjaga bahasa-bahasa itu sehingga terpisah dan bagaimana pengaruh bahasa yang satu terhadap bahasa yang lain. (Mackey dalam Fishman, 1972: 555-556).
Selanjutnya Bloomfield menerangkan, biliingualisme merupakan penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan oeh penutur asli (Bloomfield, 1958: 56). Ia memandang bilingualisme sebagai "the native like of two languages" (penggunaan dua bahasa seperti halnya bahasa sendiri). Namun demikian, pengertian tersebut tidak diterima karena kriteria penggunaan yang sama baiknya seperti penutur asli itu sulit diukur.
Oleh karena itu,untuk menyangkal sekaligus memodifikasi pendapat Bloomfield tersebut, Weinreich menerangkan bilingualisme sebagai praktik penggunaan dua bahasa secara berganti-ganti (Weinreich, 1970: 1). Jadi, pengertian tersebut menunjukkan tidak adanya tingkat penguasaan oleh dwibahasawan, seperti yang dinyatakan oleh Bloomfield. Ia mengatakan, dalam kasus bilingualisme ada yang namanya coordinate bilingual, yaitu orang yang mempelajari lebih dari satu bahasa, baik selama kanak-kanak memperoleh dua atau lebih bahasa asli, maupun pada masa kemudian berupa penguasaan bahasa yang bukan asli dengan "sempurna".
Selain itu, Robert Lado pun mengemukakan teorinya untuk memodifikasi pendapat Bloomfield. Lado mengatakan bahwa bilingualisme adalah "kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya". Jadi menurutnya, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baik. (Robert Lado, 1964: 214).
Menurut Haugen (1961), "tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual". Selanjutnya ia mengatakan, "seorang bilingual (dwibahasawan) tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetpi cukup kalau bisa memahaminya saja". Ia juga mengatakan, mempelajari bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya".
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bilingualisme adalah penggunan atau penguasaan dua buah bahasa dan dapat memahami keduanya dengan baik.
Faktor Penyebab Bilingualisme
Bilingualisme dihasilkan dari perolehan bahasa selain bahasa asli. Ini terjadi akibat adanya dua bahasa yang berkontak sehingga penutur bahasa itu dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu sendiri terjadi karena pendukung masing-masing bahasa dapt menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk, industrialisasi, dan agama.
Perpindahan penduduk secara berkelompok mempunyai berbagai alasan, antara lain keamanan, militer, ekonomi, pendidikan, politik, agama, dan bencana alam. Akibatnya adalah bilingualisme, sebagai hasil kontak antara penduduk yang baru dengan penduduk asli. Pola bilingualisme terjadi dengan cara: suatu kelompok penduduk mempelajari bahasa kelompok lain, kelompok pendatang mempelajari bahasa yang didatangi, atau sebaliknya, yaitu kelompok masyarakat asli mempelajari bahasa kelompok pendatang.
Davies dalam Fishman (1972) mengatakan bahwa penduduk yang tidak mempunyai bahasa sendiri hanyalah setengah bangsa. Jadi, suatu bangsa harus mempertahankan bahasanya dan itu adalah pertahanan yang lebih penting daripada benteng. Sikap nasional terhadap bahasa sering mengantar kepada penyebaran bahasa daripada bahasa daerah, dan ini menyebakan bilingualisme di kalangan penuduk.
Selain perpindahan penduduk, bilingualisme juga dapat terjadi akibat industrialisasi pada negara yang memiliki beraneka bahasa, yang pekerjanya berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Maka, dibutuhkan bahasa pengantar dalam bekerja, dan bahasa administrasi pada indistri itulah yang menyebabkan bilingualisme. Agama juga dapat dikatakan sebagai faktor kemunculan bilingualisme dalam masyarakat. Penyebaran suatu agama tentu saja dibarengi dengan penyebaran bahasa. Dari situ lah bilingualisme muncul.
Tingkat Bilingualisme
      Permasalahan yang paling sulit dihadapi ialah bagaimana menentukan seseorang sehingga ia dapat dikatakan sebagai seorang dwibahasawan. Haugen berpendapat, seseorang termasuk dwibahasawan bila ia dpat melahirkan tuturan yang bermakna di dalam bahasa yang lain. (Haugen, 1953: 7). Proses bilingualisme tentu dimulai dengan menggunakan bahasa yang lain walaupun kadar untuk awal bilingualisme itu sangat sukar ditetapkan.
Tingkat bilingualisme ini membagi pandangan batasan bilingualisme ke dalam pandangan minimalis dan maksimalis. Pandangan minimalis menganggap bahwa seseorang sudah dianggap dwibahasawan bila ia dapat mengucapkan tuturan yang berarti di dalam bahasa lain. Maka pandangan maksimalis menggunakan ukuran kemampuan seseorang melakukan semua kegiatan di dalam lingkungan kedua bahasa itu secara memuaskan. Pandangan minimalis tercermin pada Haugen, sedangkan pandangan maksimalis tercermin pada Halliday, Â McKintosh dan Steven (1970) yang mengajukan tingkat bilingualisme yang sama (ambilingualism), yaitu bila seseorang mampu memfungsikan kedua bahasanya secara sama baiknya.
Menjadi Dwibahasawan
Dalam kehidupan kita, bilingualisme telah dapat ditemukan pada masa kanak-kanak yang tentu akan mengakibatkan bilingualisme pada masa dewasa. Namun, masih ada juga anak-anak yang tetap ekabahasawan (hanya menguasai satu bahasa). Dwibahasawan yang mempelajari bahasa kedua pada masa anak-anak disebut dwibahasawan anak-anak, sedangkan dwibahasawan yang mempelajari bahasa kedua setelah dewasa disebut dwibahasawan dewasa. Haugen mengatakan, orang yang mempelajari bahasa kedua setelah usia 14 tahun sebagai dwibahasawan dewasa, sedangkan yang mempelajari bahasa kedua sebelum usia 14 tahun sebagai dwibahasawan anak-anak.
Kebanyakan anak yang dwibahasawan melalui proses almiah akibat dari faktor perkawinan antarkelompok, kemajemukan bahasa pada suatu wilayah dan pendidikan. Perpindahan penduduk dari suatu tempat ke tempat lain dapat melahirkan perkawinan antaranggota kelompok sehingga anak yang lahir dari perkawinan tersebut memperoleh dua bahasa.
Kedekatan kelompok bahasa lain juga menyebabkan bilinguslisme di rumah. Hal ini terutama tampak pada penggunaan dua bahasa di dalam komunikasi keluarga di rumah dan di dalam masyarakat. Bilinguslisme seperti ini mendahului proses pendidikan di sekolah. Hal yang sama juga terjadi karena pengaruh pemakaian bahasa antara orang tua dengan sahabat-sahabatnya, famili, tetangga, dan sebagainya yang menggunakan bahasa yang lain daripada bahasa yang lazim digunakan di rumah sehingga anak mengalami dua bahasa yang berbeda. Pengaruh siaran televisi dan radio pun dapat dikategorikan sebagai pengarh lingkungan ini.
Seiring dengan kemajuan pendidikan, maka faktor yang sangat berpengaruh dalam melahirkan anak yang dwibahasawan. Penggunaan bahasa pengantar di sekolah serta pengajaran bahasa tertentu telah bersama-sama melahirkan bilingualisme ini. Anak juga dapat menjadi dwibahasawan karena kebijaksanaan masyarakat atau keluarga. Ada masyarakat yang menyajikan program pendidikan bilingual dalam bentuk mengajarkan bahasa mayoritas tetapi juga mempertahankan dan mengembangkan bahasa minoritas. Program seperti itu terdapat di Rusia, Amerika Serikat, Kanada, Singapura, India, dan Hongkong. Contohnya ada yang menyekolahkan anaknya ke luar negeri untuk dapat mempelajari dan menguasai bahasa asing.
Bagaimanapun, anak mudah menjadi dwibahasawan. Ia akan menjadi dwibahasawan apabila faktor psikososial menciptakan kebutuhan untuk berkomunikasi di dalam dua bahasa. Bilingualisme pada anak itu biasanya terjadi karena kebutuhan berkomunikasi dengan orang yang berperan penting di dalam kehidupan anak, seperti orang tua, anggota keluarga lain, famili, teman sepermainan, dan guru. Selagi faktor itu penting bagi anak, ia akan tetap dwibahasawan. Namun, apabil kepentingan itu hilang maka anak mungkin akan menjadi ekabahasawan kembali.
Pemilihan Bahasa Pada Masyarakat Bilingual
Di dalam pergaulan sehari-hari kita selalu mengubah variasi bahasa yang digunakan. Ada kalanya pula mengubah bahasa yang digunakan dari bahasa yang satu ke bahasa lainnya. Keadaan ini tercermin pada seorang yang bilingual.
Penutur pada setiap masyarakat bahasa yang memasuki situasi sosial yang lain biasanya mempunyai repertoire ujaran alternatif yang berubah menurut situasi (Erwin Tripp, 1968: 197). Pada latar dwibahasa terlibat dua bahasa atau lebih sehingga situasinya lebih rumit. Kalau pada ekabahasawan hanya mengubah variasi bahasa ke variasi lain dari bahasa yang sama, maka pada dwibahasawan mungkin bukan saja mengubah dari variasi yang satu ke variasi lain bahasa tertentu, malah dapat pula mengubah bahasa yang dipergunakannya.
Dengan tersedianya beberapa bahasa di lingkungan masyarakat bilingual, seorang dwibahasawan melakukan pemilihan bahasa, yaitu menentukan bahasa apa yang akan digunakannya dalam berbicara kepada mitra tuturnya. Pemilihan bahasa itu ternyata sangat rumit untuk ditentukan polanya, seperti telah ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian Fishman dkk. (1971) tentang pemilihan bahasa Spanyol dan Inggris di Puerto Rico, Heye (1979) tentang pemilihan bahasa Jerman dengan Partugis di kota Pomerode Santa Catarina Brasil, Barber (1973) tentang pemilihan bahasa Spanyol, Yaqui, dan Inggris di Tucson, Arizona.
Pengaruh Bilingualisme Terhadap Dwibahasawan
Dwibahasawan, sebagai orang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, tentu tidak terlepas dari akibt-akibat bilingualisme itu. Salah satu akibatnya adalah dwibahasawan ada kalanya melakukan tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau menggunakan unsur-unsur dari bahasa yang satu. Dwibahasawan itu bisa pula melakukan alih kode, yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia berbicara atau menulis. Selain itu, seorang dwibahasawan memungkinkan untuk mengembangkan suatu ragam tertentu, yang mengandung hal-hal yang tidak sama atau menyimpang dari bahasa pertama atau bahasa kedua.
Gosjan melakukan survey untuk mengetahui kesulitan-kesulit sebagai dwibahsawan. Jawaban dwibahasawan pada umumnya adalah "tak ada kesulitan". Kesulitan yang muncul adalah seringnya terjadi alih kode, pencampuran bahasa, dan merasa tidak memiliki kelompok kebudayaan.
Vildomec menanyakan kepada multibahasawan tentang kerugian karena menggunakan dua bahasa atau lebih. Jawabannya adalah: Terjadinya interferensi bahasa, khususnya jika mereka dalam keadaan lelah, cemas, dan marah. Juga adanya kesulitan menjaga agar setiap bahasa itu tetap terpisah. Kerugian lai adalah ada aspek bahasa yang berkembang tidak seperti yang diharapkan. Mereka juga menganggap dirinya sebagai penerjemah yang malang. Jadi, para dwibahasawan itu memiliki beberapa perasaan negatif tentang bilingualisme yang mereka alami.
Jesperson (1922) mengemukakan akibat jelek yang nampak adalah anak yang mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Kerja otak untuk menguasai dua bahasa akan menghambat anak untuk mempelajari hal lain yang harus dikuasainya. Perkembangan bahasa anak akan terganggu, yakni dalam penguasaan kosa kata, struktur tata bahasa, bentuk kata, terjadi kekurangan atau penyimpangan.Â
Tireman (1965) mengemukakan bahwa anak-anak bilingual Spanyol-Inggris dalam tes kosa kata hasil bacaan hanya menguasai 54% kata-kata yang seharusnya dikuasai. Menurut Kelley (1936), anak-anak dwibahasawan itu di sekolah menunjukkan kurang inisiatif sehingga tertinggal oleh anak yang ekabahasawan. Saer (1923) berpendapat bahwa anak-anak dwibahasawan memiliki skor IQ lebih rendah dari anak yang ekabahasawan.
Akan tetapi, tidak semua pengaruh yang ditimbulkan oleh bilingualisme negatif. Perasaan beruntung karena menjadi dwibahasawan pun ada, misalnya, dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari kebudayaan lain yang berbeda, diperolehnya dua perspektif dalam kehidupan, terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas, dapat membaca literatur dalam teks aslinya, memiliki sarana untuk mempertahankan kehidupan. Pengaruh positif lain menurut Vildomec adalah dalam berbicara bisa lebih jelas, lebih kaya dalam vokabuler, dan dapat meningkatkan disiplin mental serta ketajaman berpikir.
Contoh Kasus
Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, bahwa bilingualisme sangat berpengaruh terhadap penuturnya (dwibahasawan). Pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat positif, dapat pula negatif. Pada makalah ini akan disajikan suatu contoh kasus yang sifatnya negatif karena pengaruh negatif tersebut dirasakan lebih banyak terjadi. Contoh kasus itu sebagai berikut:
Seorang yang dwibahasawan dapat berpotensi melakukan alih kode dan campur kode pada saat ia melakukan pembicaraan dengan orang lain. Misalnya, seseorang yang bahasa pertamanya bahasa daerah, katakanlah bahasa Jawa, dalam pembicaraan dengan bahasa Indonesia memungkinkan akan melakukan campur kode dengan bahasa Jawa. Jika orang yang diajak bicara (pendengar) tidak memahami atau menguasai bahasa Jawa, maka akan muncul ketidaklancaran dalam berkomunikasi. Hal ini tentu akan sangat mengganggu. Informasi yang akan disampaikan menjadi tidak jelas dan tidak lengkap karena si pendengar tidak memahami yang diungkapkan oleh pembicara.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa bilingualisme adalah penggunaan atau penguasaan dua bahasa dan dapat memahami keduanya dengan baik. Bilingualisme dihasilkan dari perolehan bahasa selain bahasa asli. Terjadi akibat adanya dua bahasa yang berkontak sehingga penutur bahasa itu dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu sendiri terjadi karena pendukung masing-masing bahasa dapt menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk, industrialisasi, dan agama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H