Dwibahasawan, sebagai orang yang terlibat dengan penggunaan dua bahasa, tentu tidak terlepas dari akibt-akibat bilingualisme itu. Salah satu akibatnya adalah dwibahasawan ada kalanya melakukan tumpang tindih antara kedua sistem bahasa yang dipakainya atau menggunakan unsur-unsur dari bahasa yang satu. Dwibahasawan itu bisa pula melakukan alih kode, yaitu beralih dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain pada waktu ia berbicara atau menulis. Selain itu, seorang dwibahasawan memungkinkan untuk mengembangkan suatu ragam tertentu, yang mengandung hal-hal yang tidak sama atau menyimpang dari bahasa pertama atau bahasa kedua.
Gosjan melakukan survey untuk mengetahui kesulitan-kesulit sebagai dwibahsawan. Jawaban dwibahasawan pada umumnya adalah "tak ada kesulitan". Kesulitan yang muncul adalah seringnya terjadi alih kode, pencampuran bahasa, dan merasa tidak memiliki kelompok kebudayaan.
Vildomec menanyakan kepada multibahasawan tentang kerugian karena menggunakan dua bahasa atau lebih. Jawabannya adalah: Terjadinya interferensi bahasa, khususnya jika mereka dalam keadaan lelah, cemas, dan marah. Juga adanya kesulitan menjaga agar setiap bahasa itu tetap terpisah. Kerugian lai adalah ada aspek bahasa yang berkembang tidak seperti yang diharapkan. Mereka juga menganggap dirinya sebagai penerjemah yang malang. Jadi, para dwibahasawan itu memiliki beberapa perasaan negatif tentang bilingualisme yang mereka alami.
Jesperson (1922) mengemukakan akibat jelek yang nampak adalah anak yang mempelajari dua bahasa tidak akan dapat menguasai kedua bahasa itu sama baiknya. Kerja otak untuk menguasai dua bahasa akan menghambat anak untuk mempelajari hal lain yang harus dikuasainya. Perkembangan bahasa anak akan terganggu, yakni dalam penguasaan kosa kata, struktur tata bahasa, bentuk kata, terjadi kekurangan atau penyimpangan.Â
Tireman (1965) mengemukakan bahwa anak-anak bilingual Spanyol-Inggris dalam tes kosa kata hasil bacaan hanya menguasai 54% kata-kata yang seharusnya dikuasai. Menurut Kelley (1936), anak-anak dwibahasawan itu di sekolah menunjukkan kurang inisiatif sehingga tertinggal oleh anak yang ekabahasawan. Saer (1923) berpendapat bahwa anak-anak dwibahasawan memiliki skor IQ lebih rendah dari anak yang ekabahasawan.
Akan tetapi, tidak semua pengaruh yang ditimbulkan oleh bilingualisme negatif. Perasaan beruntung karena menjadi dwibahasawan pun ada, misalnya, dapat berkomunikasi dengan orang-orang dari kebudayaan lain yang berbeda, diperolehnya dua perspektif dalam kehidupan, terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas, dapat membaca literatur dalam teks aslinya, memiliki sarana untuk mempertahankan kehidupan. Pengaruh positif lain menurut Vildomec adalah dalam berbicara bisa lebih jelas, lebih kaya dalam vokabuler, dan dapat meningkatkan disiplin mental serta ketajaman berpikir.
Contoh Kasus
Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya, bahwa bilingualisme sangat berpengaruh terhadap penuturnya (dwibahasawan). Pengaruh yang ditimbulkan dapat bersifat positif, dapat pula negatif. Pada makalah ini akan disajikan suatu contoh kasus yang sifatnya negatif karena pengaruh negatif tersebut dirasakan lebih banyak terjadi. Contoh kasus itu sebagai berikut:
Seorang yang dwibahasawan dapat berpotensi melakukan alih kode dan campur kode pada saat ia melakukan pembicaraan dengan orang lain. Misalnya, seseorang yang bahasa pertamanya bahasa daerah, katakanlah bahasa Jawa, dalam pembicaraan dengan bahasa Indonesia memungkinkan akan melakukan campur kode dengan bahasa Jawa. Jika orang yang diajak bicara (pendengar) tidak memahami atau menguasai bahasa Jawa, maka akan muncul ketidaklancaran dalam berkomunikasi. Hal ini tentu akan sangat mengganggu. Informasi yang akan disampaikan menjadi tidak jelas dan tidak lengkap karena si pendengar tidak memahami yang diungkapkan oleh pembicara.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa bilingualisme adalah penggunaan atau penguasaan dua bahasa dan dapat memahami keduanya dengan baik. Bilingualisme dihasilkan dari perolehan bahasa selain bahasa asli. Terjadi akibat adanya dua bahasa yang berkontak sehingga penutur bahasa itu dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu sendiri terjadi karena pendukung masing-masing bahasa dapt menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk, industrialisasi, dan agama.