Selain itu, Robert Lado pun mengemukakan teorinya untuk memodifikasi pendapat Bloomfield. Lado mengatakan bahwa bilingualisme adalah "kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya". Jadi menurutnya, penguasaan terhadap kedua bahasa itu tidak perlu sama baik. (Robert Lado, 1964: 214).
Menurut Haugen (1961), "tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual". Selanjutnya ia mengatakan, "seorang bilingual (dwibahasawan) tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetpi cukup kalau bisa memahaminya saja". Ia juga mengatakan, mempelajari bahasa asing, tidak dengan sendirinya akan memberi pengaruh terhadap bahasa aslinya".
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa bilingualisme adalah penggunan atau penguasaan dua buah bahasa dan dapat memahami keduanya dengan baik.
Faktor Penyebab Bilingualisme
Bilingualisme dihasilkan dari perolehan bahasa selain bahasa asli. Ini terjadi akibat adanya dua bahasa yang berkontak sehingga penutur bahasa itu dapat mempelajari unsur-unsur bahasa lainnya. Kontak bahasa itu sendiri terjadi karena pendukung masing-masing bahasa dapt menjadi dwibahasawan berdasarkan alasan-alasan tertentu, seperti perpindahan penduduk, industrialisasi, dan agama.
Perpindahan penduduk secara berkelompok mempunyai berbagai alasan, antara lain keamanan, militer, ekonomi, pendidikan, politik, agama, dan bencana alam. Akibatnya adalah bilingualisme, sebagai hasil kontak antara penduduk yang baru dengan penduduk asli. Pola bilingualisme terjadi dengan cara: suatu kelompok penduduk mempelajari bahasa kelompok lain, kelompok pendatang mempelajari bahasa yang didatangi, atau sebaliknya, yaitu kelompok masyarakat asli mempelajari bahasa kelompok pendatang.
Davies dalam Fishman (1972) mengatakan bahwa penduduk yang tidak mempunyai bahasa sendiri hanyalah setengah bangsa. Jadi, suatu bangsa harus mempertahankan bahasanya dan itu adalah pertahanan yang lebih penting daripada benteng. Sikap nasional terhadap bahasa sering mengantar kepada penyebaran bahasa daripada bahasa daerah, dan ini menyebakan bilingualisme di kalangan penuduk.
Selain perpindahan penduduk, bilingualisme juga dapat terjadi akibat industrialisasi pada negara yang memiliki beraneka bahasa, yang pekerjanya berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Maka, dibutuhkan bahasa pengantar dalam bekerja, dan bahasa administrasi pada indistri itulah yang menyebabkan bilingualisme. Agama juga dapat dikatakan sebagai faktor kemunculan bilingualisme dalam masyarakat. Penyebaran suatu agama tentu saja dibarengi dengan penyebaran bahasa. Dari situ lah bilingualisme muncul.
Tingkat Bilingualisme
      Permasalahan yang paling sulit dihadapi ialah bagaimana menentukan seseorang sehingga ia dapat dikatakan sebagai seorang dwibahasawan. Haugen berpendapat, seseorang termasuk dwibahasawan bila ia dpat melahirkan tuturan yang bermakna di dalam bahasa yang lain. (Haugen, 1953: 7). Proses bilingualisme tentu dimulai dengan menggunakan bahasa yang lain walaupun kadar untuk awal bilingualisme itu sangat sukar ditetapkan.
Tingkat bilingualisme ini membagi pandangan batasan bilingualisme ke dalam pandangan minimalis dan maksimalis. Pandangan minimalis menganggap bahwa seseorang sudah dianggap dwibahasawan bila ia dapat mengucapkan tuturan yang berarti di dalam bahasa lain. Maka pandangan maksimalis menggunakan ukuran kemampuan seseorang melakukan semua kegiatan di dalam lingkungan kedua bahasa itu secara memuaskan. Pandangan minimalis tercermin pada Haugen, sedangkan pandangan maksimalis tercermin pada Halliday, Â McKintosh dan Steven (1970) yang mengajukan tingkat bilingualisme yang sama (ambilingualism), yaitu bila seseorang mampu memfungsikan kedua bahasanya secara sama baiknya.