Mohon tunggu...
Deni Saputra
Deni Saputra Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru dan Penggiat Literasi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Belajar menulis untuk memahami kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sastra: Mengenal Kebudayaan Buton dalam Cerpen "La Runduma" Karya Wa Ode Wulan Ratna

16 November 2021   09:10 Diperbarui: 16 November 2021   09:18 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Sebuah realitas yang yang dikemas dalam cerpen "La Runduma" merupakan salah satu aspek sosiobudaya di negeri ini khusunya masyarakat Buton. Cerpen yang mengangkat upacara Posuo. Posuo adalah upacara adat Buton, Sulawesi Tenggara, yaitu proses peralihan status individu wanita dari gadis remaja (labuabua) ke status gadis dewasa. Beberapa istilah yang ada dalam upacara adat Buton juga dipakai dalam cerpen ini sebagai penguat lokalitas sastranya.

Cerpen "La Runduma" kaya akan muatan lokal yang kental dengan tradisi Buton. Selain itu juga, cerpen "La Runduma" berhasil memenangkan juara pertama Sayembara Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2005. Oleh  karena itu, cerpen itu menarik untuk dibahas.

Pendekatan sosiologi adalah sebuah pendekatan untuk mengungkapkan hubungan-hubungan yang ada antara sastra dengan lingkungannya (terkait dengan budaya yang ada dalam masyarakat yang terdapat dalam realitas kehidupan). Oleh karena itu,  penulis mencoba mengkaji cerpen ini melalui pendekatan sosiologi sastra.

Sekilas tentang Pendekatan Sosiologi Sastra 

 Teori sosiologi sastra digunakan untuk menganalisis hubungan wilayah budaya pengarang dengan karyanya, hubungan karya sastra dengan wilayah kelompok sosial, hubungan antara selera masa dan kualitas suatu cipta sastra serta hubungan antara gejala sosial yang timbul di sekitar pengarang dengan karyanya. Sosilogi sastra dapat meneliti sekurang-kurangnya melalui tiga perspektif. Pertama, perspektif teks sastra. Kedua, perspektif biografis. Ketiga, perspektif reflektif.

Sosiologi sastra merupakan disiplin yang terdiri dari sejumlah studi-studi empiris yang semuanya berurusan dengan sastra dengan masyarakat. Pendekatan ini berguna untuk melihat sastra sebagai cermin masyarakat sebab kehidupan sosial akan menjadi picu lahirnya karya sastra. Hal ini dikarenakan karya sastra berhasil yaitu mampu merefleksikan zamannya (Faruk, 1994:3) Perspektif pendekatan dan penelitian sosiologi sastra ini juga sama halnya dengan teori beberapa tokoh-tokoh seperti Alan Swingewood, Ian Watt, R. H. Abrams, serta Rene Wellek dan Austin Warren.

 Ada tiga pendekatan menurut Alan Swingewood dalam sosiologi sastra, yaitu : (1) pendekatan yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosio budaya. (2) Pendekatan yang memandang kedudukan sosial pengarang, dan (3) pendekatan yang menekankan pada resepsi masyarakat terhadap karya sastra.

 Ian Watt (1964) dalam esainya yang berjudul Literature and Society membicarakan konteks hubungan sosial sastrawan, fungsi sosial sastra, dan sastra sebagai cerminan masyarakatnya. Dalam kontek sosial pengarang tentu ada hubungan antara posisi sosial pengarang dalam masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca. Dalam sastra itu sendiri menilai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai cerminan masyarakat. Sedangkan dalam fungsi sosial sastra melihat sampai berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial.

 Rene Wellek dan Austin Warren membuat klasifikasi: (1) sosiologi pengarang, yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan segala yang menyangkut pengarang sebagai pencipta sastra. (2) sosiologi karya sastra, yang bertitik tolak dari dalam karya sastra itu sendiri, menjadi pokok penelaahan adalah apa yang tersirat dalam karya sastradan apa yang menjadi tujuannya serta (3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra.

 Abram (1978) berendapat bahwa ada tiga pendekatan yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra, yaitu: (1) pendekatan mimesis, melihat sastra sebagai ceminan kenyataan, (2) pendekatan ekpresif, melihat sastra dalam hubungannya dengan pengarangnya, (3) Pendekatan Pragmatis, kaitan pembaca atau penikmat sastra terhadap suatu karya sastra.

 Melalui uraian di atas, setelah membaca dan mengetahui corak cerpen "La Runduma", khususnya pengaruh konsepsi pengarang yang masih berdarah Buton, maka pendekatan sosiologi sastra  melalui teori sosiologi sastra akan digunakan untuk menganalisis cerpen ini. Dengan demikian ada tiga bagian terpenting dalam pendekatan sosiologi sastra. Pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisis sastra sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, perspektif biografis, yaitu peneliti menganalisis pengarangnya. Ketiga, perspektif reflektif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra.

 Sinopsis Cerpen La Runduma Karangan Wa Ode Wulan Ratna

Cerpen La Runduma menceritakan seorang gadis keturunan sultan Buton bernama Johra. Ia terjerat ikut acara posuo karena dipaksa menikah dengan laki-laki yang sederajat oleh ayahnya. Ayahnya bernama Maulidun (salah satu pawang gendang dan dipercaya sebagai orang pintar). Maulidun tidak setujuh jika Johra menikah dengan La Runduma. La Runduma adalah laki-laki yang dicintai Johra. Hal ini karena La Runduma bukan laki-laki tampan dan bekerja serabutan.

 Posuo adalah ritul adat Buton yang diperuntukan untuk anak gadis Buton. Sebuah upacara pingitan yang harus dilalui Johra karena ia telah gadis yang siap untuk dinikahkan. Selain Johra ada beberapa anak gadis yang mengikuti upacar adat ini. Riwa, salah satu peserta posuo yang satu suo (ruang tidur peserta/kamar) dengan Johra ternyata memiliki hubungan dengan La Runduma.

 

Pada malam posuo, La Runduma datang menemui Riwa untuk menyelesaikan urusannya dengan Riwa. Ia menyampaikan maksudnya dan memberikan apa yang diinginkan oleh Riwa. Usai itu, ternyata gendang Maulidun pecah. Menurut mitos jika ada gendang pecah maka ada yang tidak perawan dari peserta posuo. Maulidun menyangkan anaknyalah yang tidak perawan karena di hari terakhir La Runduma melarikan Johra.

 Aku masih perawan. Sungguh aku masih perawan! Tapi mengapa gendang itu masih pecah, Ayah?1 

 Kajian Pendekatan Sosiologi Sastra 

 Sosiologi Pengarang Sebuah Tinjauan Sosiologis-Ekspresif

 Wa ode Wulan Ratna lahir di Jakarta,23 Agustus 1984, Ibunya seorang Jawa-Betawi (Jakarta). Sedangkan Ayahnya keturunan bangsawan Buton (Sulawesi). Oleh sebab itu sebenarnya ia menyandang nama Wa Ode Wulan Ratna.

 Almarhum Ayahnya adalah putra bangsawan Buton tentunya mengajarkan budaya Buton kepadanya. Pada usia 7 tahun ia pernah mengikuti upacara ini bersama kakak perempuannya, tetapi tidak sampai selesai karena tidak tahan berbagi aturannya. Dengan demikian, ia memiliki pengalam budaya khusunya upacara posuo. Oleh sebab itu, cerpen ini mempunyai warna lokal yang cukup kental.  

 Sejak usia 7 tahun ia sudah terlihat sebagai anak yang keras kepala. Berbagai upacara adat banyak sekali ia tidak suka. Masalah mitos dan hal-hal yang berbau mistik sangat ia benci. Ia termasuk anak perempuan satu-satunya yang memberontak. Pola pikir yang modern dan terbuka, sangat bekembang lebih-lebih setelah ia memasuki bangku kuliah. Ia banyak berdikusi dengan berbagai kalangan dan dengan berbagai perspektif. Wacana tentang budaya dan agama terus berkembang dalam hidupnya. Berbagai buku ia baca dan tentu hal ini juga menamba wawasanya tentang budaya.

Ketika kita membaca cerpen La Runduma, kita akan menemukan penolakannya terhadap upacara posuo secara tersirat dan berbagai pertanyaan terhadap tuhan makna sebuah keperawanan. Hal ini menujukan wujud keterbukan dan pola pikir modern dari pengarang.

"Kau anak baik."

"Tidak, Riwa. Aku hanya pura-pura menjadi anak baik-baik sebab ritual ini membuatku bertambah menjadi kanak-kanak dibandigkan menjadi dewasa." 

Dari kutipan dialog dalam cerpen "La Runduma" terlihat bahwa terdapat penolak terhadat sebuah ritual budaya.

...Apalah artinya perawan Tuhan? Di balik cinta memang ada pengorbanan meski itu haram karena dilarang Agama.

Kutipan di atas tentu ekpresikan wujud keterbukaan pola pikir pengarang terhadap sebuah arti keperawanan. Dari kedua kutipan diatas memperlihatkan bahwa pengarang mencoba mendeskontruksi pola pikir masyarakat dengan mempertanyakan hal yang sesungguhnya tabu yaitu mempertanyakan arti keperawanan kepada Tuhan.

Memasuki tubuh Oka dalam tubuh Johra dalam cerpen La Runduma, jelas kita dapat melihat pemberontakan batinnya. Beberapa kesamaan tersebut bila dirumuskan sebagai berikut:

No.

Wulan Ratnaningsih 

Johra

1.

Memiliki sifat keras kepala dan  tidak mematuhi

Memiliki sifat keras kepala dan tetap berhubungan dengan La Runduma

2.

Mengikuti upacara posuo tetapi tidak sampai selesai.

Mengikuti upacara posuo tetapi hatinya menolak.

3.

Tidak menyukai dan mengkritik beberapa atauran budaya dan atad yang dianggap tidak rasional.

Tidak menyukai upacara posuo.

4.

Pemikirannya modern dan terbuka

Tokoh Johra mempertanyakan arti sebuah keperawan kepada Tuhan dan laki-laki.

5.

Termasuk pengarang perempuan yang membicarakan tentang ketertindasan atau objektisasi perempuan oleh laki-laki (feminis).

Dalam cerita memperlihatkan kungkungan budaya, bahwa seorang gadis harus mengikuti posuo. upacara yang menguji keperawanan wanita. Tetapi tidak untuk menguji keperjakaan laki-laki.

Tak dapat disangkal, La Runduma hadir dalam bentuk cerpen sebagai resepsi pula bagi penulisnya secara tidak langsung, di alam bawah sadarnya. Dan keseluruhannya merupakan perpaduan antara tekanan atau pengalaman hidup pengarangnya secara psikologis maupun secara sosial. Beberapa persamaan psikologis pengarang di atas melatari tokoh-tokoh dalam cerpennya. Pemberontakan terhadap adat, pembangkangan terhadap kultur, dan kekeraskepalaan tokoh-tokoh perempuannya terhadap cinta, pemikiran, dan kehidupan yang kian lama kian modern.

Sosiologi Karya Sastra sebagai Cerminan Masyarakat 

Sebuah Tinjauan Sosiologis --Mimesis

  1. Nama-Nama Tokoh Cerita

Nama tokoh-tokoh dalam cepen ini merupakan saduran dari kehidupan nyata sang pengarang. Kemungkinan besar yang melatarbelakangi pengambilan nama tokoh adalah latar belakang si pengarang yang berasal dari Buton, sehingga nama tokoh cerita tersebut banyak terpengaruh dari kekentalan budaya tersebut.

Seperti halnya tokoh La Runduma adalah nama sahabat dari alm ayah si pengarang yaitu La Ode Abu Bakar Sjiddieq yang benar-benar asli dari Buton.  Begitu pula dengan nama tokoh utama yang ditampilkan si pengarang yaitu Johra, dia adalah salah satu perempuan dari keturunan Buton dengan berbagai adat harus dilakukan dan tunduk seperti upacara pasuo itu sendiri. Pengarang juga meletakan nama kakaknya sendiri sebagai nama tokoh cerita yaitu Endah.

Dengan demikian sangat jelaslah bahwa nama-nama tokoh cerita yang bermunculan dalam cepen tersebut adalah suatu nama yang sangat dekat dengan kehidupan si pengarang. Seperti apa yang dikatakan si pengarang bahwa  dia menginginkan suatu identitas mengenai dirinya sendiri yang terbebani oleh budaya dari namanya sendiri.

  1. Status Sosial Tokoh Cerita

Tokoh La Runduma jika dikaitkan dengan kehidupan budaya Buton bahwa kata 'La' merupakan gelar kebangsawan kesultanan Buton untuk memanggil anak laki-laki. Namun, ketika La Runduma digambarkan sebagai orang yang memiliki pekerjaan serabutan bisa dianggap memiliki status sosial dari golongan bawah. Hanya saja dalam cerpen tersebut tidak begitu dimunculkan perbedaan status sosial dari tokoh-tokoh ceritanya sehingga antara kehidupan bangsawan dengan orang-orang biasa tidak digambarkan secara jelas status apa yang disandang oleh para tokoh tersebut. 

Hal yang sangat ditonjolkan oleh si pengarang mengenai status sosial adalah ketika adat Buton mengenai upacara pasuo bagi semua perempuan yang sudah dewasa sebagai salah satu cara untuk menguji keperawanan. Tetapi dilihat dari latar kehidupan ayahnya Johra yaitu Maulidun yang bekerja sebagai pawang gendang dan dianggap orang pintar dapat digolongkan dalam status sosial yang tinggi.

  1. Sikap Hidup Tokoh Cerita

 Seperti sinopsis yang dipaparkan di atas, La Runduma menceritakan tentang adat perempuan secara umum dalam masyarakat kultural di Buton. Selain itu peranan peranan perempuan dalam budaya Buton mengenai status kedewasaan dan keperawanan sangat diartikan sebagai hal terpenting untuk orang-orang Buton, sehingga upacara pasuo yang diadakan di Buton menuntut kaum perempuan untuk mengikutinya.

Dengan demikian seperti tokoh Johra dan Riwa yang hanya bisa mengikuti dan meng'iya'kan saja ketika upacara itu akan berlangsung. Namun, di saat upacara pasuo dan gendangnya pecah yang menandakan ada ketidakperawanan salah satu perempuan, Johra dengan tegasnya mengatakan bahwa dia masih perawan. 

Dengan segala keberaniannya, La Runduma membawa lari Johra di saat upacara pasuo sedang berlangsung karena ayahnya Johra tidak merestui hubungan cinta di antara mereka. Alasannya, bahwa La Runduma tidak memiliki pekerjaan dan Johra akan dinikahkan dengan laki-laki lain yag sederajat. La Runduma sendiri telah melakukan kesalahan ketika dia mencintai Johra, ternyata dia juga menjalin hubungan dengan Riwa seorang teman pasuo Johra.

Ada salah satu sikap tokoh yang  membuat cerita ini menarik yaitu di saat Maulidun melakukan upacara sebagai pawang gendang dan gendang yang ditabuhnya pecah, dia menganggap bahwa perempuan yang tidak perawan lagi adalah anaknya sendiri Johra karena Johra di hari terakhir melarikan diri bersama La Runduma. Maulidun yang bekerja sebagai pawang gendang tidak berempati pada anaknya sendiri dengan kesalahan yang dilakukan oleh Johra. Bahkan Maulidun bersikap tidak menyetujui atas hubungan Johra dengan La Runduma.

  1. Peristiwa-Peristiwa yang Diceritakan

Terdapat beberapa peristiwa yang ditampilkan pengarang dalam cerita tersebut. Yang pastinya cerpen tersebut lebih menonjolkan peristiwa mengenai budaya Buton yaitu upacara pasuo yang dilakukan bagi perempuan yang akan beranjak dewasa sebagai pengujian keperawanan mereka.

"Semua orang Buton percaya, termasuk aku, putri Buton sejati., bahwa pasuo adalah ritual bagi anak gadis untuk menjadikannya wanita dewasa dan mampu mengurus rumah tangga ...sungguh suatu adegan pingitan yang aneh dan aku melakukannya karena ayah (La Runduma, 1) "

Pada hari terakhir upacara pasuo, Johra dan La Runduma melarikan diri sebagai tanda cinta mereka yang akan melakukan kawin lari.

"Johra, aku cinta padamu. Suatu malam di akhir posuo kan kularikan engkau bagai pengantin baru. (La Runduma, 6)"

Dengan demikian ketika gendang yang ditabuh Maulidun pecah, dia menganggap bahwa perempuan yang tidak perawan lagi adalah anaknya sendiri yang melarikan diri dengan La Runduma.

"Ya, ada satu gadis yang tidak perawan. Gendangnya pecah berkali-kali." 

"Astaga!!! Anaknyakah"

 

"Sialan kau La Runduma! Dunia akhirat tak akan aku restui (La Runduma, 8)"

 

Sosiologi Masyarakat Pembaca

Sebuah Tinjauan Sosiologis-Reseptif 

La Runduma mengemukakan sebuah tema pembebasan diri terhadap belenggu budaya. Permasalah tokoh-tokoh perempuan dalam adat (upacara posuo), bahwa nilai sebuah keperawan dilihat dari gedang yang pecah, tentulah sebuh  penilai yang sangat tidak logis. Posuo, sebuah upacara yang harus dilakukan anak gadis sebelum memasuki wanita dewasa. Nilai kekuasaan kaum patriarkis yang angat tidak objektif, mengukur perempuan dengan sebuah keperawanan.  

Cerpen ini menarik, selain karena kekuatan bahasanya yang cerdas dan mengalir, permainan alur yang mudah dimengerti, juga karena pembahasan lokalitas yang mengangkat persoalan adat dan mengkritik tatanan peraturan budaya di Buton. Intinya melihat sisi sebuah budaya bukan dari hal yang menarik, cantiknya, atau kekayaannya, melainkan dari sisi gelap, negatifnya.

Pengarang, dengan sangat menarik mengajak kita (pembaca) masuk dan merasakan sebuah upacara adat Buton yaitu posuo melalui rangkaian kata-kata. Pola pikir sang pengarang yang terbuka juga kita rasa ketika kita membaca cerpen ini. Di sini, ideologi pemikiran pengarang sangat jelas terasa. Sebuah pemikiran modernitas yang sudah seharusnya dan aturannya dapat mengikuti perkembangannya. Pengarang membawa kita kepada landasan yang hakiki yaitu sebuah cinta.

 

Kesimpulan

Sastra dalam problem  lokalitas merupakan kesan yang terkandung dalam cerpen karya Wa Ode Wulan Ratna yang berjudul "La Runduma" yang masih berhubungan dengan warna lokal dan perempuan. Cerpen yang kaya akan nilai sosial budaya. Sebuah cerita yang mengangkat tradisi unik etnis Buton, khususnya tentang peristiwa upacara Posuo.

Dalam tinjauan sosiologis-ekspresif dapat disimpulkan bahwa cerpen La Runduma merupakan ekspresi psikologis dan sosial dunia Wa Ode Wulan Ratnaningsih dan konsep holistiknya yang dilandasi pemahaman budaya Buton. Melalui cerpen ini sebenarnya Wa Ode Wulan ingin menunjukkan identitasnya sebagai perempuan keturunan Buton. Oleh sebab itu tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen ini menjadi semacam katalisator bagi gagasannya sendiri dan pendobrak dari budaya posuo Buton.

Berdasarkan tinjauan sosiologis-mimesis dapat disimpulkan bahwa cerpen La Runduma bersifat realistis, sesuai dengan dunia nyata. Nama-nama tokoh, status sosial, sikap hidup, adat-istiadat, dan perilaku sehari-hari para tokohnya merupakan potret atau cerminan kehidupan dunia nyata masyarakat Buton.

Berdasarkan sebuah tinjauan sosiologis-reseptif.  Pengarang dengan sangat menarik mengajak kita (pembaca) masuk dan merasakan sebuah upacara adat Buton yaitu posuo melalui rangkaian kata-kata. Pola pikir sang pengarang yang terbuka juga kita rasa ketika kita membaca cerpen ini. Di sini, ideologi pemikiran pengarang sangat jelas terasa. Sebuah pemikiran modernitas yang sudah seharusnya dan aturannya dapat mengikuti perkembangannya. Pengarang membawa kita kepada landasan yang hakiki yaitu sebuah cinta.

Daftar Pustaka 

 Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. FBS Universitas Negeri Yogyakarta.

 Untjen Djusen, Rambrata. 2000. Sastra dan Tanggung Jawabnya. Jakarta: Bukit Timbel.

 Van Luxemburg, Jan, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

 Wulan, Wa Ode. 2005. La Runduma. Jakarta: CWI dan Menpora

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun