Sejak muda, Telaga sebenarnya benci terlahir sebagai seorang putri bangsawan. Terlalu banyak aturan adat yang harus dijalaninya. Lebih-lebih karena ibunya sendiri seorang sudra, yang disunting oleh lelaki brahmana. Dengan cara penceritaan kilas balik, Oka Rusmini mengungkapkan pergolakan batin Telaga yang kecewa dengan orang-orang yang "menjadi peta dalam proses kelengkapan pembentukan Telaga sebagai perempuan".
 "Aku tidak pernah meminta peran sebagai Ida Ayu Telaga Pidada. Kalaupun hidup terus memaksaku memainkan peran itu, aku harus menjadi aktor yang baik. Dan hidup terus bertanggung jawab atas permainan gemilangku sebagai Telaga."
Telaga bergumam, membiarkan perempuan tua itu mencuci kaki di ubun-ubunnya untuk menjelmakan dirinya menjadi perempuan baru. Perempuan sudra! (Tariam Bumi: 222).
 Memasuki tubuh Oka dalam tubuh Telaga dalam novel ini, jelas kita dapat melihat pemberontakan batinnya. Apalagi ketika kita tahu latar belakang kehidupan Oka yang ternyata memeram sesuatu dari masa lalunya dengan keluarga. Bukankah ia melepas sandang bangsawan dari kasta tertinggi karena ia menikah dengan seorang Jawa? Dalam wawancara pribadinya pun ia menyebutkan ketidaksukaannya terhadap beberapa budaya Bali yang dinilai tidak lagi relevan untuk masyarakat masa kini[3]. Beberapa kesamaan tersebut bila dirumuskan sebagai berikut:
Â
No.
Oka Rusmini
Telaga
1.
Memiliki sifat keras kepala dan  tidak mematuhi serta memenuhi keinginan sang Ayah (orang tua).
Memiliki sifat keras kepala dan tidak mematuhi nasihat Ibu (Luh Sekar/Jero Kenanga).