Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Agama dan Humanisme dalam Film Philomena

2 Februari 2018   21:26 Diperbarui: 3 Februari 2018   07:40 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara Philomena yang mengamini apa yang diungkapkan Martin, tidak pernah goyah menyatakan dirinya sebagai orang yang ber Tuhan. Philomena tetap rajin berdoa dan ke gereja. Philomena malah tidak mengerti kenapa kenapa Martin atheis padahal dia orang pintar. 

Dengan segala keawannya Philomena menyebut Martin sebagai lulusan Oxbridge. Sebuah frasa yang merujuk pada Oxford dan Cambridge, dua universitas terkemuka di Inggris.

Dalam perjalanan mereka berdua mencari anaknya inilah terlihat bagaimana keberagamaan Philomena bisa melampui keberagamaan yang dipraktekan para biarawati sebagaimana kemanusiaan Philomena bisa melampui kemanusiaannya Martin. Ini ditunjukan ketika Philomena diberitahu teman-teman anaknya, bahwa anak Philomena itu yang sudah meninggal itu adalah seorang gay.

Philomena terlihat tidak terkejut dan malu. Ketika Martin yang keheranan dengan sikap itu bertanya, Philomena mengakui bahwa sedari kecil dia sudah melihat potensi anaknya menjadi Gay. Tapi bagaimanapun, dia itu tetap anaknya karenanya dia akan tetap mencarinya. Sikap ini berbanding terbalik dengan orang tua Philomena yang membuangnya ke biara dan tidak pernah menjenguknya, karena dianggap penuh dosa setelah mempunyai anak diluar nikah.

Puncak kemarahan Martin, juga mungkin puncak bagaimana humanisnya seorang Philomena yang Katholik taat, adalah ketika Philomena dan Martin setelah sekian jauh mencari anak Philomena ke Amerika, mereka menemukan bukti bahwa sebetulnya anak Philomena sendiri sudah mencari Philomena sampai ke biara di Irlandia, tetapi pihak biara mengatakan Philomena sudah meninggal.

Padahal semasa anaknya masih hidup, Philomena berkali bolak balik ke biara menanyakan informasi anaknya.

Martin mendatangi biara dan marah besar terhadap biarawati paling tua yang menurut Martin adalah orang yang paling bertanggung jawab. Bagi Martin, biara sudah begitu kejam dan tidak manusiawi. Selain sudah menjual anak Philomena, Biara juga sudah menghalang-halangi pertemuan Philomena dengan anaknya.

Suster tertua di biara, tidak kurang marahnya terhadap Martin. Dia merasa Martin tidak layak memarahinya apalagi menganggapnya tidak manusiawi. Karena menurut dia, Philomena itu sudah berdosa karena mempunyai anak diluar nikah, sementara dia itu bisa menjaga keperawanannya sampai sekarang. Bahkan lebih dari itu, suster merasa paling beragama karena dia sering berdoa.

Pada saat itulah Philomena muncul dan bersikap. Ucapan dan sikap Philomena menjadi tamparan bagi Martin yang humanis dan suster yang merasa paling religius.

Kepada Martin, Philomena kaget dan marah kenapa orang humanis bisa memarah-marahi seorang wanita yang sudah tua renta dan mempertanyakan kenapa dia bisa hidup dengan segala kemarahannya itu. Sementara kepada biarawati yang sudah tua itu, Philomena mengatakan kalau dia sudah memaafkan apa yang dilakukan oleh dia. Meskipun biarawati itu tidak pernah minta maaf.

Ada banyak hal yang muncul dalam film ini. Seperti tentang ikatan yang tidak pernah bisa luntur antara anak dan seorang Ibu, atau tentang etika jurnalistik yang diperlihatkan Martin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun