Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Agama dan Humanisme dalam Film Philomena

2 Februari 2018   21:26 Diperbarui: 3 Februari 2018   07:40 667
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Philomena bukan hanya perempuan yang lahir dari keluarga Katholik yang taat, tetapi juga lama hidup di biara. Sementara Martin Smith adalah mantan Journalis yang karirnya menanjak sampai menjadi juru bicara pemerintahan Tony Blair sebelum dia dipecat dari Downing Street.

Semasa mudanya, Philomena melakukan kekeliruan memalukan bagi keluarganya. Philomena hamil diluar nikah. Untuk menutupi aib juga membersihkan dosa ini, keluarga mengirim Philomena ke biara. Disanalah Philomena melahirkan sampai anaknya "diadopsi" oleh sebuah keluarga.

Mempunyai anak diluar nikah dan menyembunyikan keberadaan anaknya, menjadi rahasia hidup Philomena. Sampai akhirnya usia tua, Philomena tidak bisa menutupi itu. Pada saat itulah Philomena bertemu Martin Smith yang berencana melanjutkan karir menulisnya setelah dipecat Downing Street. Awalnya Martin mau menulis sejarah Russia dan menganggap menulis human interest sebagai sesuatu yang cengeng. Tetapi mendengar pemaparan Philomena, Smith tertarik menulis human interest tentang perjuangan Philomena menemukan anaknya. Martin akan menemani Philomena mencari anaknya tersebut.

Pertemuan dan perjalanan Philomena dan Martin Smith inilah yang mengingatkan kita tentang Agama dan Humanisme.

Philomena bukan hanya perempuan yang mengakui adanya Tuhan, tetapi juga tidak pernah lupa ke Gereja. Sementara Martin adalah orang yang atheis, tidak percaya agama dan hanya percaya kepada kemanusiaan.

Martin sendiri tidak habis pikir kenapa Philomena masih percaya Tuhan dan institusi keagamaan seperti biara. Bagi Martin, biara itu kejam dan sudah menghancurkan kehidupan Philomena.

Selama di biara, Philomena memang diperlakukan tidak layak. Dia bekerja tujuh hari dalam seminggu dengan imbalan makan dan tempat tidur. Dalam sehari, Philomena hanya punya waktu satu jam bertemu anaknya.

Setelah itu, anaknya diadopsi tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada siapakah anaknya diberikan. Semua dilakukan karena menganggap Philomena penuh dosa dengan anak diluar nikahnya itu.

Martin bertambah marah manakala biara tidak bisa memberikan dokumen-dokumen adopsi anak Philomena. Padahal dokumen itu diperlukan Martin untuk menelusuri keberadaan anak Philomena sekarang.

Menurut para suster, seluruh dokumen itu sudah habis karena gudang administrasi terbakar. Namun investigasi Martin terhadap penduduk sekitar gereja menyatakan lain. Gedung administrasi sengaja dibakar demi menghilangkan bukti bahwa biara terlibat dalam penjualan anak berkedok adopsi.

Kecurigaan Martin semakin menguat ketika pihak biara tidak bisa memberikan dokumen adopsi, tetapi bisa memberikan satu lembar dokumen utuh dengan tanda tangan Philomena muda yang menyatakan menyerahkan kepengurusan anaknya terhadap biara dan tidak akan menuntut apapun di kemudian hari.

Sementara Philomena yang mengamini apa yang diungkapkan Martin, tidak pernah goyah menyatakan dirinya sebagai orang yang ber Tuhan. Philomena tetap rajin berdoa dan ke gereja. Philomena malah tidak mengerti kenapa kenapa Martin atheis padahal dia orang pintar. 

Dengan segala keawannya Philomena menyebut Martin sebagai lulusan Oxbridge. Sebuah frasa yang merujuk pada Oxford dan Cambridge, dua universitas terkemuka di Inggris.

Dalam perjalanan mereka berdua mencari anaknya inilah terlihat bagaimana keberagamaan Philomena bisa melampui keberagamaan yang dipraktekan para biarawati sebagaimana kemanusiaan Philomena bisa melampui kemanusiaannya Martin. Ini ditunjukan ketika Philomena diberitahu teman-teman anaknya, bahwa anak Philomena itu yang sudah meninggal itu adalah seorang gay.

Philomena terlihat tidak terkejut dan malu. Ketika Martin yang keheranan dengan sikap itu bertanya, Philomena mengakui bahwa sedari kecil dia sudah melihat potensi anaknya menjadi Gay. Tapi bagaimanapun, dia itu tetap anaknya karenanya dia akan tetap mencarinya. Sikap ini berbanding terbalik dengan orang tua Philomena yang membuangnya ke biara dan tidak pernah menjenguknya, karena dianggap penuh dosa setelah mempunyai anak diluar nikah.

Puncak kemarahan Martin, juga mungkin puncak bagaimana humanisnya seorang Philomena yang Katholik taat, adalah ketika Philomena dan Martin setelah sekian jauh mencari anak Philomena ke Amerika, mereka menemukan bukti bahwa sebetulnya anak Philomena sendiri sudah mencari Philomena sampai ke biara di Irlandia, tetapi pihak biara mengatakan Philomena sudah meninggal.

Padahal semasa anaknya masih hidup, Philomena berkali bolak balik ke biara menanyakan informasi anaknya.

Martin mendatangi biara dan marah besar terhadap biarawati paling tua yang menurut Martin adalah orang yang paling bertanggung jawab. Bagi Martin, biara sudah begitu kejam dan tidak manusiawi. Selain sudah menjual anak Philomena, Biara juga sudah menghalang-halangi pertemuan Philomena dengan anaknya.

Suster tertua di biara, tidak kurang marahnya terhadap Martin. Dia merasa Martin tidak layak memarahinya apalagi menganggapnya tidak manusiawi. Karena menurut dia, Philomena itu sudah berdosa karena mempunyai anak diluar nikah, sementara dia itu bisa menjaga keperawanannya sampai sekarang. Bahkan lebih dari itu, suster merasa paling beragama karena dia sering berdoa.

Pada saat itulah Philomena muncul dan bersikap. Ucapan dan sikap Philomena menjadi tamparan bagi Martin yang humanis dan suster yang merasa paling religius.

Kepada Martin, Philomena kaget dan marah kenapa orang humanis bisa memarah-marahi seorang wanita yang sudah tua renta dan mempertanyakan kenapa dia bisa hidup dengan segala kemarahannya itu. Sementara kepada biarawati yang sudah tua itu, Philomena mengatakan kalau dia sudah memaafkan apa yang dilakukan oleh dia. Meskipun biarawati itu tidak pernah minta maaf.

Ada banyak hal yang muncul dalam film ini. Seperti tentang ikatan yang tidak pernah bisa luntur antara anak dan seorang Ibu, atau tentang etika jurnalistik yang diperlihatkan Martin.

Tetapi diantaranya yang mencuat mungkin pertentangan antara agama dan humanisme itu sendiri. Film ini seolah menjadi gambaran kenapa di negara-negara Barat seperti Inggris, pertentangan antara Humanisme dan Agama begitu sangat kuat. Bila menelusuri ke Indonesia, kita juga jadi faham kenapa para intelektual muslim seperti alm Tjokro, Nurcholish Madjid dll, berkali-kali mengingatkan tentang agama dan humanisme yang tidak bertentangan.

Tetapi diluar itu semua, identitas Katholik yang dimunculkan dalam film ini, hendaknya dimaknai Katholik sebagai representasi agama bukan Katholik itu sendiri. 

Karena film ini berdasar kisah nyata di Inggris yang mayoritas penduduknya Katholik. Saya relatif yakin bila di daerah lain pun ada kisah yang serupa dengan agama yang berbeda. Karenanya film ini pada dasarnya bukan kritik terhadap Katholik, tetapi pengingatan terhadap orang-orang yang mengaku beragama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun