Mohon tunggu...
Delianur
Delianur Mohon Tunggu... Penulis - a Journey

a Journey

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT: Sikap, Legalisasi Pernikahan, dan Komunikasi

22 November 2020   17:59 Diperbarui: 22 November 2020   18:33 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain itu ada juga dominasi wacana. Karena saya sangat percaya adanya dominasi wacana dalam setiap kurun waktu. Seperti ketika masa Orde Baru yang sulit untuk mengagungkan capaian-capaian Orde Lama. Bahkan kemudian memberangus semua wacana yang dianggap bertentangan. 

Misalkan saya mencari rujukan ilmiah tentang ini ke Prof Google, siapa yang menjamin bahwa Google mencantumkan semua versi LGBT?Baik yang pro maupun kontra. Karena facebook saja sudah berlaku seperti itu kan. Lagipula LGBT sudah menjadi gerakan politik kan. Di Amerika sana sudah berhasil melegalisasi pernikahan sejenis dan sekarang bergerak melawan sains yang menentang mereka. 

Beberapa waktu lalu misalnya saya membaca tulisan Ulil tentang syahnya LGBT, tetapi dengan merujuk psikologi klinis. Pertanyaan saya, kenapa tidak merujuk pada psikologi positif. Mazhab psikologi yang melihat LGBT sebagai sebuah penyakit yang bisa disembuhkan. Orang juga bisa mengutip DR Ryu, pakar syaraf yang mengatakan bahwa secara neurologi LGBT itu normal-normal saja. 

Tetapi kenapa tidak melihat penelitian tentang Gen dari Skotlandia misalnya. Yang mengungkap bahwa LGBT itu ya faktor lingkungan. Penelitian terhadap sepasang anak kembar yang mempunyai gen sama, tetapi kenapa satu anak menjadi LGBT sementara kembar satu lagi tidak.  Saya sendiri agak rumit menjawab hal ini dalam perspektif kajian tentang LGBT. 

Tetapi dalam menjawab pertanyaan apakah LGBT itu nature atau nurture, saya punya cara lain. Kita bisa mengganti subjek LGBT nya dalam bentuk lain. Karena pada dasarnya pertanyaan nature atau nurture, itu juga pertanyaan yang terjadi di kajian lain. Misalkan saja dalam studi komunikasi. Dalam kajian Komunikasi Kelompok yang membahas bab Leadership, ada sebuah pertanyaan dasar tentang Leadership. Apakah leadership itu traits atau train. Ini pertanyaan penting yang menimbulkan perdebatan dan berimplikasi panjang. 

Kalau orang berpendapat bahwa pemimpin itu traits, bawaan, maka yang namanya pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan. Tidak ada lagi teori-teori yang bisa menjelaskan kenapa seseorang bisa menjadi seorang pemimpin. Kecuali bahwasannya dia memang sudah diciptakan Tuhan untuk menjadi seorang pemimpin.

Dulu untuk mengurai contoh perspektif ini, kami membahas tentang sosok Soekarno. Menjadi sebuah pertanyaan besar kenapa seorang Soekarno menjadi pemimpin besar. Di zaman tidak ada konsultan komunikasi, kenapa Soekarno bisa begitu terampil berdialog dengan publik. Bila berorasi didepan rakyat banyak, begitu memukau dan menghipnotis. Ketika pidato di depan sidang PBB, orang terkejut dan keder. Selain Soekarno tidak melepaskan peci sebagai simbolnya, juga berani melepas sepatu untuk dipukul-pukulkan di mimbar. Lalu ketika di Istana, bisa rileks berhadapan dengan wartawan. 

Begitu juga dalam sepakbola. Sulit menjelaskan seorang Maradona bisa mempunyai skill sepakbola seperti itu. Dia bukan lulusan akademi sepakbola Barca dan Ajax yang kesohor. Bahkan dia juga datang dari Argentina. Negeri yang dianggap tidak setara dengan Jerman atau Inggris. Tapi orang sepakat bahwa kemampuan Maradona diatas Beckenbauer legenda Jerman dan Bobby Robson legenda Inggris. Hal yang bisa menjelaskan ini hanya satu : Maradona memang diciptakan Tuhan untuk menjadi maestro dalam sepakbola 

Tetapi perspektif traits ini dikritik oleh perspektif train. Menurut perspektif train, kepemimpinan itu pada dasarnya bukan dilahirkan tetapi diciptakan. Manusia pada dasarnya bisa membuat rekayasa personal dan sosial untuk membentuk pemimpin-pemimpin baru di tengah masyarakat. Karena kalau pemimpin itu dilahirkan, maka kita hanya akan menunggu datangnya pemimpin. 

Karena kepemimpinan itu memang bisa direkayasa, maka lahirlah berbagai macam rekayasa sosial melalui pendidikan dan pelatihan untuk menciptakan banyak pemimpin. Ormas-ormas kepemudaan secara rutin menjalankan training kepemimpinan. Instansi pemerintah pun dimana-mana mendirikan Balai Pendidikan dan Pelatihan. Kembali ke Maradona, dunia sepakbola pun banyak membangun akademi sepakbola untuk melahirkan pesepakbola hebat. 

Karenanya dari sini muncullah pemimpin-pemimpin yang bertebaran dimana. Ada yang memimpin di tingkat lokal, nasional, level eselon satu, dua dan lain sebagainya. Dalam dunia sepakbola juga begitu. Akademi sepakbola Ajax bisa melahirkan seorang Zlatan Ibrahimovic sebagaimana Akademi Sepakbola Barca bisa melahirkan seorang Andreas Iniesta. Jadi pada dasarnya semua bisa dibentuk dan direkayasa. Asal ada proses yang sistematis, konsisten dan terukur. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun