Artinya yang pertama harus kita lakukan itu, proteksi dan koreksi diri. Hal yang berdimensi internal. Bukan bergerak keluar untuk menyerang. Bila setelah itu kita akan bergerak keluar untuk menghapuskanya, silahkan dilakukan. Karena agama juga selain memerintahkan beramar maruf, menyeru pada kebaikan, juga menyuruh nahi munkar, melarang orang berbuat munkar. Amar Maruf Nahi Munkar itu satu paket dalam satu tarikan nafas.Â
Hanya saja ketika kita mau melakukan itu, agama juga memberikan rambu-rambu yang mesti diingat. Seperti yang ditunjukan oleh Ali Bin Abi Thalib ketika turun di medan laga pertempuran. Ketika seorang musuh pengusung kemungkaran sudah jatuh terduduk dan menyerah tidak berdaya, Ali bersiap mengayunkan pedang untuk memenggal kepalanya. Tetapi Ali urung melakukannya. Ketika ditanya kenapa tidak meneruskan, kata Ali  dia urung memenggal kepala orang itu karena waktu itu dia sudah dikuasai nafsu amarah.Â
Jadi Ali tidak jadi memenggal kepala orang itu karena takut motif nya hanya nafsu amarah saja. Hal terakhir inilah yang menjadi pr terbesar bila kita memang mau nahi munkar. Menjaga diri supaya tidak terperangkap motif nafsu amarah.Â
Hanya memang orang sering mengernyitkan kening kalau mendengar item-item tuntutan keadilan dari kaum LGBT. Seperti menuntut supaya orang tidak membully mereka. Karena tanpa menjadi LGBT pun, bully itu dialami hampir semua orang.Â
Orang berbeda profesi, beda suku, beda sekolah, beda pendapatan saja kena bully. Apalagi beda orientasi seksual. Lagipula bukankah membully itu juga salah satu cara yang dipakai para pendukung LGBT ketika menghadapi penentang LGBT?Misalnya dengan mengatakan bodoh, tidak baca buku, nalarnya mesti dikasihani dan lain sebagainya.Â
Atau menuntut supaya pejabat negara menjaga omongannya yang suka menyudutkan dan menyakitkan mereka. Lah pejabat negara itu jangankan sama kaum minoritas seperti LGBT, omongannya sama orang kebanyakan saja menyakitkan kok. Orang miskin yang mayoritas saja disuruh diet. Apa tidak menyakitkan tuh. Juga mengharap semua orang tidak melakukan diskriminasi.Â
Saya bingung bagaimana mewujudkannya. Karena jangankan Indonesia yang sering dituding negeri dengan penduduk konservatif, belum maju, tidak terbuka dan lain sebagainya, lah Amerika dan Eropa yang katanya modern, terbuka, pintar dan negeri yang paling getol menyeru toleransi, sama minoritas saja masih diskriminatif kok. Disana masih ada diskriminasi ras kan?
Jadi kembali ke awal. Pada dasarnya semua orang secara sosial mesti saling menghormati. Lalu secara politik juga berhak mendapat perlakuan sama dari negara. Hak mendapat pekerjaan, layanan kesehatan juga pendidikan. Termasuk dalam konteks ini juga menghormati bila komunitas LGBT ingin memperjuangkan hak-hak konstitusional mereka sebagai warga negara.Â
Seperti misalkan mereka mau demonstrasi ke gedung parlemen menuntut legalisasi status hukum mereka dalam pernikahan. Selama mereka datang tidak bawa golok, senapan, bom molotov, membuat rusuh dan lain sebagainya, ya silahkan saja. Itu hak konstitusional mereka sebagai warga negara.Â
Lalu kalau komunitas LGBT yang minoritas saja bisa melakukan itu, apalagi yang mayoritas kan. Karena penolak LGBT pun sama-sama warga negara dan mempunyai hak sama melakukan hal serupa. Kalau kaum LGBT itu bisa datang meminta negara melegalisasi status pernikahan, maka penolak LGBT punya hak sama menuntut negara untuk menolak tuntutan mereka. Dan pada titik ini orang harus jelas. Menolak dengan tegas dan konstitusional segala upaya yang ingin melegalkan perkawinan sesama jenis. Karena menghormati dan empati terhadap pengidap LGBT, berbeda dengan menolak legalisasi pernikahan sejenis. Ini sudah bukan perkara individu lagi, tapi perkara sosial.Â
Bila memang pernikahan sejenis dilegalkan, maka kita mesti bertanya ulang tentang makna pernikahan. Apa sesungguhnya makna sebuah pernikahan, dan masyarakat seperti apa sebenarnya yang mau kita bangun. Bila pernikahan hanya ditempatkan sebagai legalisasi hasrat biologis, lalu kenapa kita tidak melangkah lebih jauh.Â