Misalnya melegalkan semua praktek prostitusi sehingga kita bisa membangun Red District sebagaimana di Amsterdam. Di sana seks diperlakukan semata sebagai relasi material. Ada uang, ada kesenangan. Perempuan pun legal dan bebas menjajakan diri sampai berjajar di etalase toko menawarkan pemenuhan hasrat seksual setiap orang. Bahkan kalau itu memang sudah menjadi tuntutan zaman dan sesuai dengan kebutuhan manusia, kita minta saja MUI mengeluarkan sertifikat halal bagi para PSK. Atau mungkin membuat prostitusi Syariah.Â
Itu bila kita memang menganggap pernikahan hanya perkara legalisasi hasrat biologis. Tapi kan masyarakat dan budaya kita tidak seperti itu. Masak sih kita mau menurunkan derajat kemanusiaan kita. Kebutuhan kita terhadap wanita sebagai teman hidup, mau diganti dengan kebutuhan wanita sebagai teman di ranjang. Kebutuhan kita terhadap rasa cinta, direduksi menjadi kebutuhan terhadap seks. Kebutuhan kita akan kebahagiaan, direduksi menjadi keinginan memenuhi segala kesenangan. Masak sih kita mau membentuk diri kita dan masyarakat seperti itu?
Bagi para perempuan yang menganggap pernikahan sejenis sebagai hal yang lumrah, coba berpikir dan merasakan lebih dalam. Seperti misalnya bagaimana posisi anak dalam pernikahan sejenis.Â
Zaman memang sudah maju. Meski pernikahan sejenis tidak akan menghasilkan anak, tekhnologi menyiapkan perangkat lain supaya orang bisa mempunyai anak. Mulai dari titip sperma ke rahim orang lain, sampai dengan tekhnologi bayi tabung. Tapi apa benar kita melihat anak seperti itu?Apa kita mau menempatkan hubungan orang tua dan anak hanya sebatas tanda di akta, ktp atau pencantuman nama bahwa si a itu bin b, c atau d.Â
Sekarang saja banyak orang yang mengeluh terganggunya tumbuh kembang dan hubungan dengan anak sendiri, ketika pengasuhan anak mereka berikan pada asisten rumah tangga. Lalu apa yang akan terjadi ketika masih dalam masa pembentukan saja, anak dititipkan di rahim orang lain atau disimpan di tabung. Masak sih kita mau menyamakan rahim sendiri dan rahim orang lain. Lebih ngeri lagi, masak sih rahim dianggap mempunyai fungsi sama dengan tabung?Yakinkah kalau proses seperti itu akan membangun hubungan cinta dan kasih sayang antara orang tua dan anak sejak awal?Serius kita mau menempuh hidup yang serba materialistik seperti itu?
LGBT memang sudah menjadi fakta sosial. Sebetulnya orang tidak perlu repot-repot mengatakan orang lain bodoh, tidak baca buku, otak di dengkul lalu menyuruh mereka membuka serat centhini atau mengkaji penelitian gender di Sulawesi untuk mengingatkan itu. Karena tokh dalam benak masyarakat kita sudah tertanam kuat bahwa kaum Nabi Luth yang hidupnya ribuan tahun lalu itu, ya penyuka sesama jenis.Â
Tetapi sejarah sosial LGBT bukanlah dasar untuk melegalisasi pernikahan sejenis. Fakta sejarah sosial LGBT perlu diungkap supaya kita sama-sama aware dan ada kemajuan dalam menyikapi fenomena ini. Kalau fakta sosial LGBT menjadi alasan legalisasi LGBT, maka ada fakta sosial lain yang juga harus dilegalkan, yaitu membunuh. Karena itulah dosa pertama anak adam.Â
Hal lain yang ada di kepala saya tentang LGBT adalah, nature atau nurture kah LGBT itu? Apakah LGBT itu bawaan lahir atau faktor lingkungan?Jawaban atas pertanyaan ini tentunya akan berakibat panjang.Â
Kalau LGBT itu bawaan lahir, berarti tidak bisa diubah. Tidak bisa dianggap sebagai penyakit atau penyimpangan. Mereka sama normalnya dengan masyarakat banyak. Lalu kalau LGBT disebabkan lingkungan, berarti itu penyimpangan dan bisa dirubah. Mesti ada rekayasa sosial dan personal untuk menyembuhkannya.Â
Secara personal, ada kesulitan bagi saya untuk menggali rujukan ilmiah dalam menjawab pertanyaan ini. Problemnya sederhana saja, teknis dan dominasi wacana.Â
Secara tekhnis saya tidak pernah secara khusyuk dan khusus menelaah buku-buku tentang ini. Karena ini kan bukan bidang saya. Lagian kan saya saja nulisnya buat status facebook di kala iseng, bukan untuk jurnal ilmiah supaya kelihatan ilmiah, akademis dan pintar. Ini kan coretan-coretan saja hehehe..