Dengan riang gembira, mereka duduk di atas tikar plastik dan terpal yang di siapkan di bawah pohon. Para orang berusia senja pun tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Suara sound system dengan tembang sholawat pun mengiringi kehadiran mereka.Â
Kerelaan warga Mujan untuk berkumpul sembari menyiapkan makanan dan bermacam kebutuhan lainnya menandakan pentingnya Sandur yang akan digelar.Â
Saya pun semakin penasaran untuk segera melihat ritual ini ketika beberapa lelaki berusia senja mengatakan bahwa kawasan Mujan bebas dari wabah Covid-19 dan penyakit sapi karena warga masyarakat masih menggelar Sandur di buju' Taka, makam leluhur tempat dilaksanakannya ritual.Â
Pernyataan mereka menjadi bukti betapa pentingnya Sandur bagi keberlangsungan hidup masyarakat Mujan di tengah-tengah pagebluk (wabah) yang melanda masyarakat Jember dan Indonesia.
Tepat pukul 09.00 WIB, acara seremonial dimulai dengan sambutan dari pembina Sandur, Kepala Desa Klungkung, ustadz, dan perwakilan Pemkab Jember. Setelah itu, acara tahlil yang ditujukan untuk para leluhur dikumandangkan oleh semua warga yang hadir di pemakaman.Â
Tahlilan sebelum ritual merupakan bentuk sinkretisme yang dijalankan oleh warga Mujan terhadap tradisi agama Islam yang berkembang luas di masyarakat. Selain itu, sebagaimana banyak dilakukan dalam ritual lain, tahlilan ataupun doa-doa secara Islam bisa dibaca sebagai siasat kultural untuk menghindari tuduhan syirik dari pihak tertentu.
Menurut informasi dari salah satu warga, tuduhan syirik terhadap ritual Sandur lebih berkaitan dengan pelaksanaannya di buju' dan penggunaan sesajen tertentu seperti kembang. Dengan adanya tahlilan dan doa secara Islam, tuduhan tersebut tidak memiliki ruang luas untuk berkembang di masyarakat.
Makan bersama dari makanan yang dibawa ratusan warga perempuan menghadirkan pemandangan komunal yang cukup guyub. Selain wadah berbahan plastik dan kertas untuk aneka jajan, warga juga menyediakan tempat makan untuk nasi yang berasal dari daun pisang.Â
Tradisi makan bersama dalam ritual di makam leluhur, pedanyangan, telaga, dan tempat keramat lain merupakan kebiasaan yang banyak dilakukan dalam ritual bersih desa/sedekah bumi di masyarakat Jawa atau kadisa di masyarakat Madura.Â