Sebuah Perjalanan
Udara segar dari Gunung Argopuro menyapa perjalanan saya menuju Dusun Mujan, Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Jember. Mengendarai motor kesayangan, saya menikmati jalan menanjak dengan banyak tikungan. Lahan sawah berkontur miring di sepanjang jalan berpadu dengan aneka pepohonan menjadikan perjalanan sekira setengah jam dari kota Jember begitu menyenangkan.
Sebuah informasi dari status WA seorang sabahat tentang ritual Sandur yang akan dilaksanakan pada 19 Juli 2023, jam 07.00 WIB di pemakaman Mujan menggerakkan saya untuk melakukan perjalanan ini.Â
Sebenarnya, setahun yang lalu, sahabat yang bergiat di Alit Indonesia, sebuah yayasan yang bergerak dalam pemberdayaan masyarakat desa, sudah mengundang saya untuk mengadiri ritual ini. Sayang, jadwal Sandur tahun kemarin berbarengan dengan kegiatan  lain. Beruntung, untuk pelaksanaan ritual tahun ini yang bertepatan dengan libur Tahun Baru Hijriyah, saya sedang tidak ada kegiatan lain.
Setelah sempat tiga kali bertanya kepada warga, pada jam 07.30 saya sampai di pemakaman Mujan. Ketakutan bahwa saya akan terlambat menghadiri ritual tidak terbukti karena acara baru akan dimulai jam 09.00 WIB. Adapun jam 07.00 WIB sebagaimana tertera di poster digital ternyata digunakan warga untuk melakukan persiapan.Â
Menjelang Ritual
Di pemakaman tampak puluhan warga dan mahasiswa KKN dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Jember serta Universitas Airlangga menyiapkan kebutuhan seperti menggelar terpal dan tikar plastik. Beberapa lelaki setengah baya menyiapkan sesajen berupa bunga yang biasa digunakan untuk ziarah. Mereka meletakkannya di dekat buju'.Â
Tidak lama kemudian, warga perempuan yang mayoritas berseragam Fatayat NU bersama anak atau cucu mereka mulai berdatangan ke pemakaman. Mereka membawa makanan dan mengumpulkannya di area sekitar buju' (makam leluhur).Â
Dengan riang gembira, mereka duduk di atas tikar plastik dan terpal yang di siapkan di bawah pohon. Para orang berusia senja pun tidak ketinggalan untuk berpartisipasi. Suara sound system dengan tembang sholawat pun mengiringi kehadiran mereka.Â
Kerelaan warga Mujan untuk berkumpul sembari menyiapkan makanan dan bermacam kebutuhan lainnya menandakan pentingnya Sandur yang akan digelar.Â
Saya pun semakin penasaran untuk segera melihat ritual ini ketika beberapa lelaki berusia senja mengatakan bahwa kawasan Mujan bebas dari wabah Covid-19 dan penyakit sapi karena warga masyarakat masih menggelar Sandur di buju' Taka, makam leluhur tempat dilaksanakannya ritual.Â
Pernyataan mereka menjadi bukti betapa pentingnya Sandur bagi keberlangsungan hidup masyarakat Mujan di tengah-tengah pagebluk (wabah) yang melanda masyarakat Jember dan Indonesia.
Tepat pukul 09.00 WIB, acara seremonial dimulai dengan sambutan dari pembina Sandur, Kepala Desa Klungkung, ustadz, dan perwakilan Pemkab Jember. Setelah itu, acara tahlil yang ditujukan untuk para leluhur dikumandangkan oleh semua warga yang hadir di pemakaman.Â
Tahlilan sebelum ritual merupakan bentuk sinkretisme yang dijalankan oleh warga Mujan terhadap tradisi agama Islam yang berkembang luas di masyarakat. Selain itu, sebagaimana banyak dilakukan dalam ritual lain, tahlilan ataupun doa-doa secara Islam bisa dibaca sebagai siasat kultural untuk menghindari tuduhan syirik dari pihak tertentu.
Menurut informasi dari salah satu warga, tuduhan syirik terhadap ritual Sandur lebih berkaitan dengan pelaksanaannya di buju' dan penggunaan sesajen tertentu seperti kembang. Dengan adanya tahlilan dan doa secara Islam, tuduhan tersebut tidak memiliki ruang luas untuk berkembang di masyarakat.
Makan bersama dari makanan yang dibawa ratusan warga perempuan menghadirkan pemandangan komunal yang cukup guyub. Selain wadah berbahan plastik dan kertas untuk aneka jajan, warga juga menyediakan tempat makan untuk nasi yang berasal dari daun pisang.Â
Tradisi makan bersama dalam ritual di makam leluhur, pedanyangan, telaga, dan tempat keramat lain merupakan kebiasaan yang banyak dilakukan dalam ritual bersih desa/sedekah bumi di masyarakat Jawa atau kadisa di masyarakat Madura.Â
Ekspresi kebahagiaan warga ketika menikmati hidangan menandakan bahwa nilai kebersamaan dan praktik gotong royong untuk melaksanakan ritual merupakan kunci utama untuk menghadirkan energi positif bagi kehidupan desa.Â
Artinya, kerjasama antara pemerintah desa, pemuka agama, pelaku budaya, dan masyarakat merupakan modal kultural untuk mengatasi hambatan, kendala, dan tantangan dalam pelaksanaan ritual, baik yang berkaitan dengan pendanaan maupun ketidaksukaan pihak tertentu.
Sandur, Pepujian dan Tari di Makam Leluhur
Tidak lama setelah acara makan bersama selesai, dua puluh satu pelaku Sandur mengambil posisi duduk, melingkari buju' Taka s. Salah satu dari mereka memimpin pepujian dalam bahasa Madura, tanpa iringan alat musik.Â
Lantunan mereka mengingatkan saya kepada suara para penembang Mamaca (Macapat dalam tradisi Madura). Saya tidak bisa mengingat setiap lirik yang mereka nyanyikan, tetapi apa yang saya ingat adalah lirik Sandurrenang.
Setelah duduk melingkar, para penari berdiri dengan tetap bergandeng tangan. Gerakan tubuh dan kaki mereka sangat sederhana, tetapi sangat ritmis, mengikuti pepujian dan doa yang mereka lantunkan bersama-sama. Salah satu gerakan yang sangat khas adalah mereka beberapa kali merapatkan tubuh ke dalam, untuk kemudian menggerakkan tubuh keluar.Â
Sembari menari, mereka menembangkan pepujian dan doa. Salah satu lirik yang saya ingat adalah Sandurelang, yang secara harafiah bermakna "Sandur yang hilang." Rupa-rupanya, lirik itulah yang dijadikan nama dari seni ritual di Mujan, Sandurelang/Sandhorrelang.
Pertunjukan Sandur di pemakaman ini berlangsung sekira satu jam dengan gerakan ritmis-monoton, duduk dan berdiri, mengikuti tembang yang para pelaku lantunkan. Untuk kepentingan rokat (ruwatan) di rumah warga, bisa juga berlangsung 2 - 3 jam.
Sayangnya, saya tidak bisa mendapatkan informasi yang cukup terkait sejarah, lirik pepujian dan doa, dan makna gerakan tari. Babburahman, pembina Sandur di Klungkung, kurang bisa memberikan penjelasan terkait ritual ini, termasuk lirik pepujian dan doa yang dilantunkan.Â
Ia dan beberapa tokoh masyarakat hanya menjelaskan bahwa kesenian ini diwariskan turun-temurun secara lisan dan tidak ada catatan tulis. Apa yang saya dapatkan adalah bahwa tujuan dari ritual ini adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Penguasa agara warga masyarakat dihindarkan dari bermacam bencana dan malapetaka.Â
Selain itu, perkumpulan Sandur di Mujan, Klungkung, ini sudah berjalan sampai generasi ketujuh. Berarti, bisa dikatakan bahwa ritual ini merupakan warisan dari para leluhur Klungkung yang berasal dari Madura. Mereka berpindah ke kawasan Klungkung di era kolonial di mana banyak pengusaha Belanda membuka perkebunan di Jember dan sekitarnya.
Karena tidak mendapatkan informasi yang cukup untuk menelaah pertunjukan Sandur ini, saya memutuskan untuk menelurusi literatur tentang seni ritual ini, khususnya yang berasal dari tradisi masyarakat Madura dan Jawa. Penelusuran literatur ini penting untuk mengetahui lebih lanjut, apakah Sandur di Klungkung ini lebih dekat ke tradisi Madura atau Jawa.Â
Untuk itu, saya harus melakukan perbandingan bentuk dengan cara, pertama-tama, menjabarkan Sandur dari tradisi Madura dan Jawa. Setelah itu, saya akan kembali membahas pertunjukan ritual Sandur di Klungkung, khususnya terkait bentuk, makna, dan peran pentingnya dalam kehidupan masyarakat Klungkung. Â
Menelusuri Sandur
Membaca literatur terkait Sandur di masyarakat Jawa dan Madura, kita akan mendapatkan beberapa bentuk dengan fungsi kultural yang berbeda, meskipun sama-sama berasal dari tradisi masyarakat agraris.Â
Di Madura, setidaknya terdapat dua jenis Sandur, yakni untuk ritual dan hiburan. Sementara, di kawasan Tuban dan Bojonegoro, Sandur menjadi seni ritual menggabungkan drama, tari, dan musik dengan pesan-pesan moral yang berkaitan dengan masyarakat tani serta doa-doa memohon keselamatan.
Sandur yang digunakan untuk kepentingan ritual biasa disebut Sandur Pantel atau Dhamong Gardham. Dalam pertunjukannya di kawasan Sumenep dan sekitarnya, Sandur Patel terdiri dari tiga belas penabuh, lima penembang perempuan, seorang penegas (pemimpin), dan empat belas penari.Â
Terkait instrumen musik yang biasanya digunakan adalah saronen. Namun, ada juga pertunjukan yang tidak menggunakan alat musik, tergantung pada konvensi yang berlaku. Pertunjukannya merupakan kombinasi antara doa dan pepujian yang diikuti gerakan tari sederhana serta diiringi gamelan dan tembang Madura.
Menurut Irmawati (2011), dalam tradisi lisan masyarakat Madura di kawasan Ambunten barat, Sumenep, seni ritual ini diyakini berasal dari kisah seorang anak bernama Sandur, pengembala kambing yang saleh dan taat beribadah. Banyak masyarakat yang memujinya.Â
Hal itu menjadikan salah satu anak yang dipanggil Si Kafir tidak senang dan berencana mencelakai Sandur. Ia tidak suka kalau Sandur semakin dicintai warga dan menjadikan mereka memeluk Islam. Hal itu akan menghancurkan wibawa Kafir yang dikultuskan masyarakat.
Ketika Sandur sedang menggembala kambing di kawasan perbukitan, Kafir pun menjalankan rencananya. Sayangnya, rencana itu gagal karena Sandur tidak ia temukan. Secara ghaib, Sandur hilang, karena dimasukkan ke pohon besar oleh Sang Pencipta.Â
Hilangnya Sandur inilah yang dinyanyikan dalam tembang Sandurelang, Sandur hilang. Berdasarkan petunjuk dari hasil semedinya, Kafir mengetahui kalau Sandur berada di dalam pohon besar yang tidak jauh darinya. Ia pun segera menebang pohon itu, tepat di tengah. Â Â Â
Kisah hilangnya Sandur, Sandurelang merupakan ruh dari seni ritual ini yang biasanya dilaksanakan di maam hari dan dibagi ke dalam dua babak. Pada acara pembukaan, kisah ini menggambarkan Sandurrenang, namun dalam penutupannya adalah Sandurelang.Â
Dalam pemahaman masyarakat Madura, Sandurrenang merupakan dzikir dan kalimat tauhid yang menunjukkan hamba Tuhan yang selalu mengabdi (Umar, 2018). Ini diwujudkan dalam sosok Sandur yang saleh dan taat beribadah serta mengajak menuju kebaikan sehingga di tolong oleh Sang Pencipta.Â
Tujuan akhir setelah melafalkan doa dan pepujian dalam Sandur adalah adalah untuk membebaskan diri dari semua penyakit, semua mara-bahaya dan musibah. Hal itu sesuai cerita ketika Sandur dapat raib karena pertolongan Sang Pencipta.Â
Di babak pertama, para penari dan pelantun doa duduk melingkar. Di posisi paling belakang adalah para penabuh, di depan penabuh adalah penembang wanita. Ketika penari mengambil posisi berdiri, para penempang wanita juga ikut berdiri.Â
Di depan penembang wanita adalah pimpinan yang memberikan improvisasi lagu ataupun penegasan cerita. Sementara, posisi terdepan dalam bentuk lingkaran adalah para penari berjumlah empat belas.
Dalam babak pembukaan yang biasanya berdurasi 3 -- 4 jam. Pertunjukan dibuka dengan gending dan dilanjutkan dengan melantumkan doa pujian seperti bis-jabis adualla, bat-tobat adialla, wuattalla, alim mas-taiman, alim mas-taiman, hilangan monhardham, hilangan tobat, adujabis, alan-alan adi tobat, tobat-tobat, sandhurrennang, sandhurrennang, pak lamo, alim mastah kafirullah, buju'ambang minta dikkir.Â
Tarian-tarian yang dibawakan sesuai dengan pengaturan komposisi, dengan gerakan-gerakan sederhana, dari posisi duduk berubah ke posisi melingkar ataupun berubah ke posisi berdiri.Â
Pada babak pementasan berikutnya, para penembang melantumkan bait-bait pujian dan doa, para penari pada babak kedua melakukan gerak ragam yang sama. Bait-bait yang dilantumkan adalah hardham, hardham renang, nedham, alam adi tobat, hardham, set-iset farhong, nang-rennang farhong, farhong rennnang.Â
Masih menurut Irmawati (2011), karena Sandur Pantel merupakan ritual, dalam setiap pergelarannya membutuhkan sesaji dalam nyiru (ancak). Sesajen tersebut berupa kelapa gading, bermacam jajan pasar, kue kering (rengginang, kripik, peyek), nasi dan panggang ayam serta roncean kembang, roncean jagung dan roncean kacang.Â
Yang tidak kalah penting adalah pakaian untuk rampatan (sesaji pakaian) berupa pakaian anak-anak, remaja, orang dewasa serta sarung dan kain panjang. Semua bahan pakaian tersebut mempunyai warna yang berbeda, yaitu merah, kuning, putih, hitam dan hijau.
Sementara, dalam setiap pertunjukan, para penembang wanita memakai kain panjang dipadu dengan kebaya sono'Â (kebaya tanpa kancing depan), para penari memakai busana pesa'Â (celana komprang hitam), baju longgar hitam, di bagian pinggang dililitkan kain panjang yang di lipat.
Sebagai seni ritual, Sandur Pantel dilaksanakan untuk untuk memohon hujan, menjamin sumur penuh air, menghormati makam keramat, menyelamatkan anak dari gangguan dan masalah (rokat anak), mendatangkan banyak ikan (rokat pangkalan), membuang bahaya penyakit, mencegah atau mengenyahkan musibah, bencana, malapetaka, dan wabah.
Bagaimana dengan Sandur hiburan yang berkembang di Bangkalan dan sekitarnya? Sandur untuk hiburan biasanya diselenggarakan untuk melengkapi tradisi remoh, hajatan arisan yang melibatkan ratusan warga lelaki dengan uang ratusan ribu. Kesenian Sandur Bangkalan secara historis juga berasal dari seni ritual Sandur Pantel, khususnya untuk tembang dan tari.Â
Sebagai versi populer, Sandur Bangkalan melibatkan penari lelaki berdandan perempuan (lenggek). Para anggota arisan akan menari bersama lenggek dan memberikan uang saweran.Â
Menurut catatan Rahayu & Ishomudin (2020) para pemain sandur adalah para lelaki yang ikut arisan dan mereka akan menari bersama lenggek dengan diiringi gamelan Madura. Selain berkembang di Bangkalan, kesenian yang menyerupai tayub dalam masyarakat Jawa ini juga berkembang di Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Jember.
Sementara, Sandur atau Sandur Kalongking di Tuban dan Bojonegoro, menurut situs warisanbudaya.kemnedikbud.go.id, Â merupakan seni ritual multibentuk yang menggabungkan drama, tari, akrobat mistis, dan musik. Menurut tradisi lisan yang berkembang, kesenian ini berasal dari kata isan (selesai panen) dan ngedhur (sampai habis).Â
Versi lain menceritakan bahwa Sandur yang terdiri dari berbagai cerita tersebut merupakan singkatan dari sandiwara ngedhur. Artinya, kesenian ini berisi tentang berbagai macam cerita yang tak akan habis sampai pagi. Ada pula yang mengatakan bahwa Sandur merupakan singkatan dari beksan (menari) dan mundur.
Adapun, Prakosa (2020) menjelaskan bahwa Sandur merupakan pertunjukan bocah angon (anak gembala) dengan tujuan menghibur diri dan masyarakat. Menurutnya, Sandur bisa diartikan sandhing luhur, yakni berdampingan dengan leluhur, atau sandhangan dhuwur, yakni busana luhur. Kata dhuwur dan luhur berkaitan erat dengan leluhur atau yang dimuliakan, dijunjung tinggi.Â
Maka itu, Sandur merupakan bentuk penghormatan terhadap leluhur yang berjasa "mbabat alas dadi desa sing reja dadi dukuh sing makmur" (membabat hutan menjadi desa mulia dan dukuh yang makmur).
Sebagai seni ritual, Sandur biasanya digelar dari pukul 21.00 WIB hingga pukul 03.00 WIB. Pertunjukan Sandur digelar di tanah lapang dengan batas pagar tali berbentuk bujur sangkar berukuran 8 x 8 meter yang disebut blabar janur kuning, diberi hiasan lengkungan janur kuning dan digantungi aneka jajan pasar, ketupat dan lontong ketan atau lepet.Â
Dua batang bambu ori ditancapkan dengan ketinggian kurang lebih 10-12 meter. Di antara bambu tersebut dipasang tali besar yang menghubungkan keduanya untuk adegan kalongking yang mistis. Untuk tata cahaya menggunakan obor mrutu sewu, yaitu sejenis obor yang lubang untuk menyalakan apinya terdapat lebih dari tiga lubang. Obor ini dipasang di sekeliling arena pertunjukan.Â
Yang tidak boleh dilupakan adalah pembacaan mantra dan pemberian sesaji (beras, dupa, cikalan yang bagian tengahnya diberi gula merah, kembang setaman dan kembang boreh) dengan tujuan agar acara dapat berjalan dengan lancar dan sukses.
Dalam pertunjukan, Sandur biasanya melibatkan dua puluh hingga dua puluh lima personel, yaitu dua orang pemain musik (panjak kendang dan panjak gong), sepuluh sampai lima belas panjak hore, satu orang jathil, satu orang srati (pawang/dukun), lima orang sebagai pemeran tokoh Germo, Cawik, Pethak, Balong, dan Tangsil, serta satu orang penari kalongking.Â
Pemilihan untuk tokoh Balong, Pethak, Cawik dan Tangsil berasal dari anak laki-laki yang belum dikhitan karena dianggap masih suci. Instrumen musik yang digunakan adalah gong bumbung dan kendang batangan/ciblon yang dibantu oleh panjak hore sebagai pelantun tembang serta tukang senggak (menyahuti lagu).
Seni ritual Sandur memiliki delapan adegan dalam tiga babak. Untuk pergantian dari babak satu ke babak berikutnya ditandai dengan tembang. Selain berfungsi sebagai pengiring keluar masuknya peran dan pergantian adegan, tembang juga berfungsi sebagai mantera pemanggil roh atau bidadari. Fungsi yang lain adalah sebagai narasi perjalanan tokoh peran.
Cerita utama dalam pertunjukan Sandur adalah pertanian berdasarkan cerita turun temurun dan mitos yang berkembang di masyarakat. Di dalam pertunjukan, terdapat tahapan yang menceritakan kehidupan manusia dari dalam kandungan, hidup di dunia, hingga meninggal dunia.Â
Selama hidup di dunia mereka mengerjakan pertanian mulai dari membersihkan sawahnya, ditanami padi, hingga panen. Berbagai macam sifat dalam diri manusia juga dituturkan dalam cerita. Sifat-sifat itulah yang akan mendorong manusia ke arah baik dan buruk. Dengan sifat baik, manusia akan bersyukur atas segala apa yang telah dimiliki.
Salah satu bentuk syukur tersebut dilakukan dengan dipentaskannya kesenian ini dengan segala bentuk sesajen, doa, tata busana, tarian, dan tahapan yang ada. Aneka sajen dalam perlengkapan pertunjukan merupakan bentuk syukur kepada Tugan Sang Pencipta dan penghormatan kepada leluhur.Â
Adapun doa ditujukan untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selalu diberi kesehatan dan rejeki yang lancar. Dengan demikian, seni ritual ini memiliki dimensi religiusitas yang menekankan hubungan harmonis antara manusia-alam-leluhur-Tuhan.
Pertunjukan Sandur di Tuban dan Bojonegoro biasanya dilakukan dengan berjalan memutar searah dengan jarum jam. Bahasa yang digunakan adalah Jawa Ngoko, tetapi tidak jarang juga diselingi Jawa Krama.Â
Di tengah-tengah pertunjukan, terdapat parikan atau pepatah berisi nasehat bahwa manusia sebagai makhluk sosial tidak boleh semena-mena, harus berhati-hati, tidak boleh sombong dan harus bersedia hidup berdampingan dengan yang lain.Â
Bagi penonton, babak yang paling ditunggu adalah kalongking, yaitu seorang pemain jaranan memanjat bambu dan bermain ackobat di atas tali yang dibentangkan di antara dua bambu. Setelah akrobat, ia turun melalaui bambu dengan posisi kepala di bawah. Adegan ini menggunakan kekuatan ghaib yang diyakini berasal dari roh leluhur yang diundang untuk membantu pergelaran.Â
Membaca Sandur Klungkung
Dari penelusuran literatur tentang Sandur di atas, saya menyimpulkan bahwa Sandur di Klungkung merupakan seni yang digunakan untuk kepentingan ritual. Baik pepujian dan model gerakan tari sederhana yang dimainkan di buju' Taka memiliki kemiripan dengan Sandur Pantel yang berkembang di kawasan Sumenep dan Sampang, bukan Sandur Bangkalan.Â
Fungsinya pun untuk kepentingan rokat (ruwatan) dengan tujuan menghormati leluhur dan memohon kepada Sang Pencipta agar diberikan keselamatan dan kesejahteraan serta tolak bala', dihindarkan dari bencana, malapetaka, dan pagebluk (wabah).
Meskipun belum ada data tertulis yang ditemukan terkait asal-muasal Sandur di Klungkung, dari karakteristik dan komunitas pelakunya, saya bisa mengatakan seni ritual ini dikembangkan oleh para migran Madura yang datang ke kawasan Jember pada era kolonial.Â
Ketika para pekebun swasta Belanda membuka banyak perkebunan, termasuk di kawasan Klungkung dan sekitarnya, para migran didatangkan untuk keperluan tenaga kerja. Para tenaga kerja yang kemudian bermukim di kawasan perkebunan dan sekitarnya itulah yang menghidupkan tradisi Sandur.
Karena warga Madura  hidup di kawasan baru yang penuh tantangan alam dan situasi yang berbeda dari kampung halaman, mereka harus melakukan adaptasi dan bersiasat ketika terjadi sesuatu yang membahayakan atau mengganggu kehidupan mereka. Lingkungan alam berupa pegunungan, jurang, sungai, dan hutan bisa menghadirkan ancaman bagi warga.Â
Begitupula kemungkinan datangnya penyakit yang membahayakan nyawa mereka. Sebagai pendatang yang masih membawa ingatan tentang tradisi yang ada di Madura. Salah satu yang mereka ingat adalah tradisi Sandur, sehingga mereka menggelarnya sebagai upaya untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk atau ketika ada gangguan terhadap kehidupan warga.
Dari sini, kita bisa melihat upaya kultural untuk mengingat, memindahkan, dan mempraktikkan ritual leluhur di tanah Madura dalam suasana dan lingkungan yang berbeda, tetapi keyakinan bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan tetap dipertahankan.Â
Namun, karena keterbatasan fasilitas di wilayah baru, para pendahulu Sandur harus melakukan perubahan bentuk atau model pertunjukan agar tetap bisa menggelarnya tanpa menghilangkan tujuan baiknya.Â
Maka, perangkat alat musik ditiadakan, begitupula wanita pelantun tembang. Peniadaan ini merupakan siasat menghadapi keterbatasan. Apa yang dipertahankan adalah pepujian dan doa serta para penari lelaki sebagai komponen inti dalam Sandur.
Karena telah terjadi perubahan dalam bentuk pertunjukan yang membedakannya dari yang berkembang di kawasan Sumenep dan Sampang, saya lebih senang menyebutnya Sandur Klungkung. Kata Klungkung, tentu merujuk pada nama desa tempat dilakukannya ritual ini.
Selain itu, kata Klungkung menegaskan bahwa pertunjukan Sandur yang digelar pelaku dan masyarakat memiliki perbedaan sebagai siasat transformatif yang dilakukan para pendahulu dari Madura dan diwariskan secara turun-temurun, sampai dengan generasi terkini.
Kalau kemudian para pelaku menamainya Sandorelang/Sandurelang, itu tidak lepas dari upaya mereka untuk memberikan identitas terhadap seni ritual yang mereka lakukan secara turun-temurun tersebut. Penamaan tersebut berasal dari lirik sandurelang dalam pepujian dalam ritual yang menandakan kekuasaan Tuhan yang menghilangkan tokoh Sandur dari kejaran Kafir.Â
Ini tentu tidak perlu dipermasalahan, apalagi disalahkan. Melalui pendampingan dari Alit Indonesia, para pelaku dan tokoh masyarakat melakukan diskusi mendalam terkait nama apa yang sesuai, karena leluhur mereka bisa jadi tidak memberikan nama. Karena yang terpenting adalah mereka meyakini ritual tersebut bisa menjadi tradisi untuk mencegah malapetaka.Â
Sekali lagi, pemberian nama Sandurelang/Sandorelang, tidak perlu dipermasalahkan, apalagi makna dalam lirik tersebut merupakan inti dari pertunjukan Sandur untuk ritual.
Apa yang patut kita apresiasi dari Sandur Klungkung adalah keteguhan para pelaku dan warga masyarakat untuk terus mempertahankan dan menjalankannya dari generasi ke generasi. Tentu bukan persoalan mudah untuk melakoni Sandur di tengah-tengah kuatnya dakwah agama di masyarakat Madura serta pengaruh hegemonik budaya modern.Â
Bagi pihak-pihak yang fanatik terhadap ajaran agama, kehadiran ritual di buju' dengan sesajen dan pepujian yang mereka tembangkan bisa menghadirkan pemahaman stigmatik.
Kehadiran ratusan warga, laki-laki dan perempuan dari beragam usia, menandakan bahwa keyakinan mereka terhadap ritual Sandur tidak harus dipertentangkan dengan ajaran agama karena sama-sama bertujuan memanjatkan doa kepada Tuhan. Selain itu, mengormati para leluhur yang telah berkontribusi bagi kehidupan masyarakat merupakan praktik baik.
Dukungan pemerintah, pada akhirnya, menjadi kekuatan politik sebagai wujud kehadiran negara di tengah-tengah upaya warga Mujan untuk melakoni keyakinan mereka. Di sinilah kita harus mengapresiasi upaya Kepala Desa dan perangkatnya untuk terus mendukung pelaksanaan Sandur di pemakaman Mujan.Â
Upaya yang dilakukan Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk melakukan pembinaan terhadap keunikan budaya Klungkung menjadikan keteguhan hati para pelaku dan warga semakin kuat untuk terus menggelar Sandur setiap tahun.Â
Perhatian tersebut merupakan pengakuan bahwa pelaku, masyarakat, dan pemerintah desa Klungkung ikut berkontribusi terhadap upaya pemajuan kebudayaan dengan cara mereka sendiri. Sebagaimana kita ketahui ritus merupakan salah satu objek pemajuan kebudayaan yang harus dikembangkan.Â
Kemauan pelaku, warga masyarakat, dan pemerintah desa untuk bersama-sama melangsungkan Sandur merupakan bukti bahwa mereka memiliki kesadaran kultural tentang pentingnya ritual tersebut serta memajukan kebudayaan bangsa.
Selain itu, pelaksanaan ritual di tengah-tengah modernitas masyarakat Klungkung menandakan bahwa masyarakat memiliki kekuatan dan mekanisme kultural untuk tidak melupakan sepenuhnya warisan leluhur.Â
Mereka masih meyakini bahwa menggelar Sandur setiap tahun di makam leluhur ataupun pada kesempatan rokat tertentu bisa mendatangkan energi positif yang membawa kebaikan bagi kehidupan.Â
Pepujian dan doa yang dilantunkan para penari lelaki, baik dalam posisi duduk maupun berdiri sembari bergandengan tangan, berisi pesan-pesan kebajikan untuk terus berbuat baik kepada sesama dan berdoa kepada Tuhan Sang Pencipta.Â
Semua perbuatan baik itu akan kembali ke manusia, sehingga ketika mereka membutuhkan, Tuhan akan membantu dengan kekuasaan-Nya yang luar biasa, termasuk mencegah terjadinya bencana dan malapetaka.
Meskipun warga Madura di Klungkung dari zaman kolonial hingga pascakolonial sudah terbiasa dengan praktik dan nilai modern, mereka masih terikat dengan keyakinan leluhur dalam memandang persoalan hidup. Tidak semuanya harus ditelaah dan ditanggapi dengan cara rasional ala Barat.Â
Alih-alih, dalam pemahaman mereka, aspek batiniah juga memiliki peran penting dalam menanggapi bermacam permasalahan dan ancaman. Berdoa di makam leluhur melalui ritual Sandur merupakan upaya untuk menghormati orang-orang yang berjasa dalam membangun desa, menyebarkan agama, ataupun mengajarkan pengetahuan kepada warga.Â
Mereka adalah sosok-sosok penting yang meskipun sudah meninggal masih diyakini bisa membantu warga. Bukan untuk menggantikan peran dan kuasa Tuhan Sang Pencipta. Alih-alih, ruh leluhur diyakini ikut mendoakan warga atau memberikan energi agar doa warga sampai kepada Sang Pencipta.Â
Keyakinan semacam ini sampai sekarang juga masih berlangsung di masyarakat Tengger yang tinggal di kawasan sekitar Bromo. Atau, dalam konteks yang lebih luas, ziarah ke makam para wali juga berangkat dari keyakinan tersebut.Â
Dengan kata lain, para leluhur itu memang secara fisik sudah elang, hilang, tetapi kekuatan energi mereka diyakini masih membersamai warga, sehingga ritual Sandur perlu digelar sebagai medium untuk memperkuat hubungan dengan mereka. Â
Jadi, meskipun mereka sudah terbiasa dengan benda dan gaya hidup modern, seperti memakai telepon seluler dan menonton televisi, serta mengenyam pendidikan moden, kebiasaan di lingkup keluarga dan masyarakat untuk menggelar ritual memberikan makna mendalam tentang kekuatan batin melalui doa dan pepujian.Â
Menariknya, para pelaku Sandur tidak hanya generasi tua, tetapi juga generasi muda. Para partisipain ritual Sandur pun diikuti oleh anak-anak dan kaum muda Klungkung.Â
Ini membuktikan bahwa regenerasi, baik untuk pelaku maupun partisipan, terus berlangsung. Keinginan untuk terus menghadirkan tradisi leluhur merupakan modal kultural yang bisa menjadikan masyarakat Klungkung tidak gagap dalam menghadapi aneka warna modernitas, tantangan, permasalahan, dan ancaman yang muncul dalam kehidupan.
Dari Sandur Klungkung kita bisa menemukan usaha kultural untuk secara ajeg memperkuat relasi strategis antara manusia, lingkungan alam, leluhur, dan Tuhan Sang Penguasa. Manusia perlu terus menghidupkan keyakinan kepada Tuhan melalui aktivitas-aktivitas baik sesama manusia dengan prinsip kerjasama seperti "para penari Sandur yang selalu bergandeng tangan."Â
Kerjasama dan perbuatan baik sesama manusia akan menjadi praktik baik yang bisa merajut energi sosial, sehingga mereka bisa menyelesaikan masalah bersama. Perbuatan baik kepada lingkungan alam yang sudah begitu baik kepada manusia akan memberikan manfaat berlimpah kepada masyarakat.Â
Lingkungan alam di kawasan kaki gunung Argopuro yang subur sekaligus penuh tantangan perlu dimaknai secara positif agar warga masyarakat tidak melakukan tindakan-tindakan destruktif yang bisa membahayakan kehidupan mereka, seperti kematian. Â
Ritual Sandur di pemakaman Mujan mengingatkan warga, bahwa lingkungan harus terus diperlakukan secara baik kalau mereka ingin mendapatkan ragam manfaat. Penghormatan terhadap leluhur merupakan upaya untuk terus mengingat-kembali perjuangan mereka dalam mengembangkan desa dan masyarakat.Â
Dalam kehidupan yang semakin kompleks, doa para leluhur diharapkan bisa membantu terwujudnya harapan dan keinginan para warga. Doa-doa baik melalui ibadah dan ritual seperti "pepujian para penari Sandur" akan menjadi energi positif keilahian yang bisa membantu manusia dalam menghadapi bahaya, ancaman, dan wabah, sebagaimana tokoh Sandur menghadapi Kafir. Â
Pada akhirnya, kembali kepada kekuatan maha dahsyat, Tuhan Sang Penguasa, menjadi energi besar yang akan mengantarkan warga Klungkung ke dalam logika harapan dan kepasrahan sebagai makhluk. Sehebat masalah, malapetaka, maupun bencana yang akan melanda, Tuhan menggunakan kuasa-Nya untuk mencegahnya.Â
Di situlah, kekuatan doa dan ikhtiar yang dilakukan bersama dari kaki gunung, seperti dalam Sandur Klungkung, akan berperan penting dalam mengantarkan harapan yang sebenar-benarnya akan keselamatan, kesejahteraan, dan keterhindaran dari bermacam musibah, bencana, dan malapetaka.Â
Namun demikian, ketika semua ikhtiar dan doa sudah dilakukan dan Tuhan berkehendak lain, itulah takdir yang tidak mungkin bisa lagi dihindari. Maka, Sandur Klungkung yang dilaksanakan di pemakaman Mujan sekaligus mengingatkan warga masyarakat bahwa mereka semua akan kembali kepada Tuhan, melalui kematian, sebuah fase menuju alam keabadian.Â
Bacaan Pendukung
Irmawati, Lilik R. 2011 (26 Oktober). Sandhur Pantel: Pembuka Pintu Langit. www.lontarmadura.com
Kabar Tuban. 2022 (26 September). Sejarah Kesenian Sandur dari Kota Tuban. kabartuban.comÂ
Kemdikbud. 2018. Sandur Bojonegoro dan Tuban. warisanbudaya.kemdikbud.go.id
Prakoso, Rahmat Djoko. 2020 (6 Desember). Sandur, Persembahan Anak Gembala. mediaindonesia.com
Rahayu, Rani & M. Ishommudin. 2020 (11 Maret). Tak Ada Arisan di Nusantara Lebih Heboh Dibandingkan Sandur Bangkalan. www.vice.com
Umar, Rusdi. 2018 (10 Maret). Rokat, Melestarikan Budaya Masyarakat Masalembu. www.lontarmadura.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H