Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Modern di Desa Era 80-an: Sebuah Ingatan

13 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2023   00:05 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nonton televisi hitam putih di masa Orde Baru. Sumber: Facebook Kota Jogja

Kepentingan stabilitas keamanan dan integrasi sosial untuk mempercepat pembangunan bertemu dengan kecenderungan ke-hidupan harmonis desa. Modernitas yang diinginkan rezim, dengan kata lain, memang tidak sepenuhnya memunculkan kebebasan dalam hal subjektivitas. 

Rezim berkepentingan memelihara budaya lokal yang bisa mendukung pembangunan melalui kampanye pentingnya budaya nasional sebagai identitas bangsa maupun Penataran P-4. 

Selain itu, kehadiran aparat keamanan sampai di tingkat desa (Babinsa, misalnya) menjadikan masyarakat tidak punya keberanian untuk membicarakan keburukan program pemerintah. Ketika ada penolakan terhadap penggunaan bibit hibrida, misalnya, para petani akan segera dipanggil atau didatangi aparat.

Simpulan

Dari uraian tentang cerita masa kecil dan beberap aanalisis, terdapat beberapa cara pandang yang bisa digunakan untuk melihat formasi diskursif modernitas yang memengaruhi gerak kehidupan masyarakat desa pada era 80-an. 

Pertama, peran ekonomi-politik pembangunanisme berhasil membiasakan masyarakat dengan orientasi kemajuan, ke- kota-an, budaya populer, pertanian kapitalis, dan pendidikan, sehingga mereka benar- benar masuk ke dalam kuasa modernitas. 

Kedua, keberakaran tradisionalisme yang dinarasikan secara turun-temurun dalam institusi keluarga maupun sosial, menjadikan masyarakat tidak menerima nilai-nilai modern sepenuhnya seperti individualisme. Ketiga, ambivalensi dan hibriditas kultural berlangsung tidak hanya dalam ranah praksis, tetapi juga dalam ranah pikiran/ orientasi. 

Keempat, ambivalensi dan hibriditas kultural tersebut tetap menjadikan modernitas sebagai endapan-endapan ideologis dalam imajinasi dan kehidupan sehari-hari masyarakat. 

Kelima, rezim negara dengan aparatus intelektualnya menjadikan kapitalisme sebagai ideologi ekonomi-politik yang mampu menggerakkan masyarakat ke arah modernitas, tetapi tetap berada dalam keterbatasan subjektivitas.

Dengan cara pandang tersebut, lokalitas tidak bisa lagi dipahami sebagai keutuhan yangterus-menerusterjaga. Secaragenealogis, sejak Soeharto mulai memimpin negeri ini, masyarakat sudah mulai diajak memandang kemajuan dengan politik pintu-terbukanya. Era 80-an menjadi penanda sebuah fase masyarakat desa yang tengah bergerak menuju modernitas. 

Sebagian nilai dan praktik kultural juga mengalami pergeseran atauperubahan. Pascakolonialitas masyarakat desa, menjadikan lokalitas semakin kompleks dengan kehadiran modernitas yang menjadi warga baru bagi kehidupan tradisional masyarakat. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun