Meskipun menggemari kesenian tradisional, saya tidak pernah  mengerti  pitutur dan keadiluhungan yang direpresentasikan dalam setiap pertunjukan. Tayub hanya berupa ge- rakan-gerakan tari yang disertai dengan tradisi minum tuwak ataupun bir.Â
Waktu itu, saya dan kawan-kawan tidak pernah mengerti kalau tayub, seperti dijelaskan Suharto (1999), ternyata berasal dari ritus kesuburan untuk menghormati Dewi Sri.Â
Sementara, bahasa dan narasi wayang yang sulit, membuat saya hanya bisa mengingat nama-nama Pandawa dan beberapa Kurawa beserta stereotipisasi yang dilekatkan; Pandawa baik dan pejuang kebenaran, Kurawa jahat dan tidak beradab.Â
Selebihnya, saya menikmati wayang hanya sekedar sebagai situs hiburan, sekaligus sebagai kesempatan untuk memanjakan hasrat njajan, membeli makanan dan minuman. Â
Sama halnya, ketika kami tidak pernah mengerti makna religi dari selametan dan kondangan. Kecuali tahlilan yang kata imam di sebuah masjid untuk mengirim doa kepada orang yang meninggal.
Hal berbeda diberikan ludruk ke dalam pikiran saya. Sebagai drama rakyat yang menggunakan bahasa Jawa dialek arek (Suroboyoan), saya bisa mengikuti dan memahami cerita-ceritanya, baik yang berbasis dongeng perjuangan lokal seperti Sogol Pendekar Sumur Gemuling, Sarip Tambakoso, Joko Kendil, Joko Dolok, dan Sawunggaling maupun cerita rekaan tentang percintaan.Â
Selain ceritanya, saya juga sangat menggemari dagelan (lawak) sebelum lakon dimainkan. Waktu itu ada dua jenis pertunjukan ludruk, yakni pagelaran di acara hajatan (tanggapan) dan pagelaran tobong. Pagelaran tobong biasanya digelar oleh sebuah kelompok ludruk dari Mojokerto, Jombang, dan Surabaya selama satu bulan ketika musim panen tembakau.Â
Musim tembakau memang identik dengan uang yang banyak bagi masyarakat desa. Meskipun demikian, saya hanya diizinkan menonton oleh ibu ketika malam Minggu, karena hari-hari biasa harus belajar. Selain itu, penghematan uang adalah alasan kenapa ibu hanya memberikan izin menonton ludruk tobong pada malam minggu.
Nyatanya, bagi saya dan kawan- kawan, menikmati narasi dan bentuk seni modern ternyata lebih menyenangkan dibandingkan dengan seni tradisional. Lagu pop, film, kartun, maupun sandiwara radio lebih memesona dan bisa melambungkan angan-angan kami. Seni modern memberikan kesempatan untuk melihat dan menikmati sebuah jagat kultural di luar jagat kami sehari-hari.Â
Kami mulai mengenal istilah cinta dan pacaran dari lagu-lagu pop dan film cerita akhir pekan. Kami mengenal indahnya kehidupan modern kota dari tayangan berita dan film. Sementara, dari kesenian dan ritual tradisional, kami tidak mendapatkan sesuatu yang menarik karena jauh dari nalar anak-anak.Â
Menjadi wajar kalau kami sejak kecil lebih membayangkan yang kota, yang modern, dan yang Barat di tengah-tengah kehidupan lokal desa. Kami memang terikat dengan lokalitas seperti cerita gaib penunggu tempat keramat, tradisi gotong royong, selamatan, tradisi ngaji Al-Quran, seni tradisional, penghormatan kepada orang tua dan sesepuh dusun, maupun larangan- larangan tradisi.Â