Pesona-pesona Modernitas (yang Kontesktual)
Di samping slametan dan setya laksana, masuknya masyarakat Tengger ke dalam wacana dan praktik modernitas juga bisa dilihat dalam praktik hidup keseharian. Benda-benda yang menandakan hadirnya modernitas begitu melimpah dalam kehidupan wong Tengger.Â
Televisi, mobil, sepeda motor, pakaian-pakaian pabrikan, telepon seluler/HP, maupun makanan-makanan instan dengan mudah dijumpai dan sudah seperti menjadi bagian sah dari budaya masyarakat Tengger itu sendiri. Paling tidak, terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kehadiran benda-benda industri budaya dalam kehidupan.Â
Pertama, gencarnya iklan di televisi atau media baru berbasis internet yang mereka tonton semakin mempersering "kontak imajinatif" mereka dengan produk-produk modernitas yang selalu menawarkan kemudahan.Â
Kedua, semakin seringnya mereka pergi ke wilayah bawah maupun kota, baik untuk kepentingan bejalar, belanja, maupun pemerintahan, menjadikan warga Tengger semakin biasa dengan kehidupan modern yang banyak ditandai oleh kehadiran produk tersebut. Ketiga, perkembangan ekonomi pertanian yang menyediakan kekuatan finansial untuk menghadirkan produk tersebut.
Ketika berada di rumah salah satu kerabat perangkat desa Wonokerso untuk kepentingan observasi persiapan ritual, saya melihat beberapa orang laki-laki menonton televisi sambil mempersiapkan kebutuhan ritual di ruang tamu. Sementara ibu-ibu memasak makanan di dapur.Â
Beberapa kali si perangkat desa menerima telepon dari warganya yang hendak mengurus KTP di kantor desa besok pagi. Menurut keterangannya, penggunaan HP sudah sangat biasa bagi wong Tengger dan dalam beberapa hal sangat membantu.
Dengan adanya HP, saya dan juga warga lainnya sangat terbantu, Mas. Dulu kami selalu kesulitan untuk ngontak kerabat yang ada di luar desa, kalaupun bisa kami harus menempuh perjalanan berjam-jam dengan kondisi jalan yang bertebing dan gelap kalau malam.Â
Yang repot lagi, kalau kami hendak menjual hasil panen karena kami harus menunggu sampai pembeli datang. Orang-orang Telkom males nyambung telepon ke sini karena membutuhkan biaya terlalu banyak.Â
Nah, dengan HP yang murah, kami bisa ngontak mereka ketika sayur sudah selesai dipanen. Cuma, susahnya di sini kadang-kadang sinyalnya putus-putus, maklum di nggunung. (Wawancara, 3 Juli 2006).
Pak Soeradjad, dengan kasus yang berbeda menambahkan bahwa dengan adanya HP untuk urusan-urusan penting dengan sesepuh Tengger, biasanya berkaitan dengan pelaksanaan ritual, di wilayah lain bisa lebih mudah, tanpa harus berlama-lama menempuh perjalanan jauh (Wawancara, 10 Mei 2006).Â