Kemeriahaan slametan juga bergantung sepenuhnya pada tingkat kemakmuran ekonomi para penyelenggara entas-entas sehingga bagi keluarga yang kurang mampu tidak harus menyelenggarakannya secara meriah.Â
Peningkatan ekonomi, dengan demikian, telah menjadi kekuatan baru yang mampu menghadirkan transformasi kultural. Transformasi ini terkait dengan kebiasaan dalam memaknai perayaan slametan sebagai kewajiban tradisi bagi wong Tengger, terutama bagi mereka yang termasuk golongan ekonomi mampu.
Kebutuhan akan biaya yang banyak dalam Entas-entas tentu memerlukan tabungan yang tidak cukup hanya dilakukan dalam satu tahun. Wajar kiranya kalau ritual Entas-entas biasanya dilaksanakan beberapa tahun setelah almarhum dikubur. Maka dari itu, keluarga Tengger perlu mempersiapkannya dengan cara bekerja giat di ladang sehingga mereka bisa menabung dari setiap hasil panen.Â
Motivasi kultural untuk memberikan yang terbaik kepada orang tua atau kerabat yang sudah meninggal melalui perayaan slametan Entas-entas telah menjadi kekuatan untuk melakukan kerja-kerja pertanian dari pagi hingga petang di ladang. Apakah ini menjadi beban bagi wong Tengger?Â
Kenyataannya, tidak tampak kesan tersebut ketika mereka bekerja giat di ladang, karena itu semua merupakan laku kehidupan yang harus dijalani apabila mereka ingin memperoleh kebahagiaan; kebahagiaan yang berbasis pada keyakinan kultural.
Kesan munculnya "gengsi sosial" dalam masyarakat Tengger memang tidak bisa dihindari. Keluarga-keluarga kaya seolah ingin menunjukkan kemeriahaan slametan sebagai penegas status sosial yang membedakan mereka dengan warga lainnya. Apakah benar kemewahan perayaan terkait erat dengan gengsi sosial?Â
Mengikuti pemikiran Bordieu (1994), kemewahan dalam entas-entas memang bisa memunculkan habitus, struktur kebiasaan yang terstrukturkan dalam praktik sehari-hari, yang ditopang oleh kekuatan modal ekonomi sehingga bisa menjadi "modal kultural" (cultural capital) yang mampu mewujud sebagai moda untuk menegaskan status sosial keluarga tertentu.Â
Memang kesan tersebut muncul, tetapi hal itu bukan untuk menunjukkan perbedaan kelas sosial yang sengaja diperkuat secara simbolis melalui kemewahan. Bagaimanapun juga, kemajuan ekonomi telah melahirkan pemaknaan baru terhadap sebuah perayaan.Â
Warga Tengger juga tidak bisa menghindarkan diri dari usaha untuk menunjukkan kemajuan tersebut, sebagaimana banyak dijumpai di wilayah-wilayah pedesaan Tengger dan Jawa lainnya. Namun, apa yang harus dicatat adalah bahwa kehadiran kemewahan tersebut tetap dibingkai dalam kerangka ideologis kultural yang hidup dan berkembang dalam konteks zaman yang sedang 'bergerak.'
Artinya, transformasi kultural terkait ritual dan adat lain yang terjadi berlangsung pada "level permukaan", sedangkan pada "level dalam" masyarakat Tengger tetap memaknainya sebagai sebuah kewajiban tradisi. Â
Dalam level permukaan, mereka bisa berpesta menikmati suguhan makanan dan minuman, sembari menari atau menikmati pertunjukan tayub. Namun dalam hati mereka, ada kepuasan ketika mereka bisa memenuhi panggilan tradisi serta bisa menghindari hadirnya walat (hukuman atas sebuah kesalahan di dunia) ketika mereka tidak menjalankan ritual tersebut.