Ketika pertanian komersil berkembang, tenaga kerja upahan (kuli bulanan dan kuli tetap) menjadi pilihan untuk lebih mengefektifkan kerja dibandingkan dengan hitungan pada pola tradisional.Â
Berubahnya pola tenaga kerja tersebut tidak serta-merta mengarah pada tradisi patron-klien, tetapi tetap mengedepankan semangat persamaan sesama warga Tengger yang tidak patut diperbincangkan berdasarkan kaya dan miskin.
Kedua, berkembangnya masyarakat konsumsi. Konsumsi dalam masyarakat Tengger lebih terkait dengan mobilisasi dan penggunaan kebutuhan rumah tangga dan benda-benda modern (dari pakaian, kendaraan, alat elektronik, dan lain-lain).Â
Sebagai akibat komersialisasi pertanian, kemajuan ekonomi memang berakibat pada pembelian benda-benda yang menunjukkan kemodernan sebagaimana terlihat pada kehidupan masyarakat dataran rendah.Â
Masyarakat Tengger, jelas, tidak bisa menolak keberadaan benda-benda tersebut dalam kehidupan mereka, apalagi dengan semakin baiknya jalan dan alat transportasi yang memungkinkan mereka untuk berbelanja ke pasar di wilayah yang lebih bawah ataupun kota.Â
Hal ini berbeda jauh dengan keyakinan mereka sebelumnya untuk menolak benda atau budaya yang berasal dari wilayah ngare (bawah) yang dianggap bisa merusak ketentraman dan keharmonisan kultural. Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari keluarga yang lebih kaya tetap tidak ingin menunjukkan kemewahan konsumsi yang dijalani, karena hal itu dianggap tabu oleh tradisi Tengger.
Masyarakat Tengger, sebagaimana masyarakat Jawa lainnya, memang mengalami beberapa perubahan signifikan dalam hal ekonomi, konsumsi, dan gaya hidup sebagai akibat komersialisasi pertanian dan persinggungan dengan budaya di luar Tengger.Â
Namun, perubahan tersebut tidak serta-merta melepaskan 'baju tradisi' yang sudah diyakini selama ini sehingga akan lebih tepat kalau masyarakat Tengger saat ini disebut sebagai "masyarakat yang sedang bertransformasi".Â
Dalam konteks transformasi akan bisa dilihat bagaimana masyarakat Tengger memaknai dan merekonstruksi kedirian dan tradisi mereka di dalam ruang ketiga (third space) yang mempertemukan aspek kerja pertanian komersil dan aspek ketradisian.Â
Tulisan ini merupakan analisis deskriptif-interpretatif terhadap pertemuan antara budaya tradisi dan praktik kerja pertanian komersil dalam konteks masyarakat Tengger pascakolonial yang mewarisi nilai dan praktik tradisi sekaligus mengambil nilai dan praktik modern yang ditawarkan oleh kolonial dan berlanjut hingga saat ini dalam desain pembangunan nasional.