Multikulturalisme adalah gerakan moral yang dimaksudkan untuk meningkatkan martabat, hak, dan nilai yang diakui dari kelompok yang terpinggirkan (Fowers dan Richardson, 1996).
Prinsip menghormati dan mengakui perbedaan budaya masing-masing warga merupakan wacana utama digerakan oleh para pemikir liberal dan dijadikan pijakan utama oleh pemerintah negara maju seperti Amerika Serikat, Kanada, Australia, Prancis, Inggris, dan Jerman. Mereka membuat kebijakan budaya berbasis keragaman yang idealnya dapat memberikan kesetaraan bagi semua pihak (Modood, 2010: 20).
Meskipun secara formal multikulturalisme menjadi bentuk tanggung jawab negara, namun dalam praktiknya peran individu dalam masyarakat lebih menentukan.
Wise dan Velayutham (2014) menggunakan kerangka multikultural yang ramah untuk mengkaji bagaimana masyarakat multietnis di Singapura dan Sydney mengembangkan perilaku ramah lingkungan yang berkontribusi terhadap toleransi yang mendukung koeksistensi sosial dan menjadikan multikulturalisme sebagai habitus.
Bagi warga diasporik yang mengalami translokasi budaya, multikulturalisme bukanlah ideologi, filosofi, atau resep yang dapat dengan cepat menyelesaikan masalah sosial, ekonomi, dan politik, terutama yang berkaitan dengan ketimpangan.
Sebaliknya, seperti dalam kasus Inggris, multikulturalisme membutuhkan negosiasi jangka panjang dan berkesinambungan dengan berbagai bentuk ekspresi budaya yang melibatkan banyak aktor dan anggota masyarakat sebagai tanggapan atas gerakan kohesi masyarakat yang diprakarsai oleh pembuat kebijakan dan politisi (Werbner, 2005). .
Namun demikian, penerapan kebijakan multikulturalisme oleh negara-negara maju yang merayakan keragaman budaya setiap kelompok migran atau diaspora dari Asia, Afrika, Timur Tengah, Amerika Latin, Karibia, dan lainnya, dapat menimbulkan kecemasan karena terlalu peduli dengan persoalan budaya tetapi mengabaikannya masalah sosial di mana minoritas masih menghadapi prasangka rasis dan ketidakadilan ekonomi.
Chae (2008: 2) memberikan contoh yang sangat baik tentang “inflasi dalam penggunaan terminologi budaya” dengan mengilustrasikan masalah kemiskinan yang dialami oleh kelompok minoritas di Amerika Serikat.
Kemiskinan seringkali dialamatkan kepada sifat-sifat negatif yang ada pada komunitas etnis tertentu, seperti kemalasan, pendidikan rendah, kurang berani bersaing, aliha-alih menyodorkan realitas ketimpangan struktural dalam masyarakat.
Sayangnya, seperti yang ditunjukkan Mishra (2007: 135), multikulturalisme yang disponsori negara kurang peduli dengan kekuasaan, relasi kelas, keadilan yang tidak merata, dan ketidakseimbangan budaya antara mereka yang secara historis dominan dengan mereka yang memperjuangkan kesetaraan setelah mampu menyesuaikan dan tergabung ke dalam budaya dominan.