Selain itu, pemahaman multikulturalisme yang menekankan pada perayaan keragaman budaya dapat mempertebal jarak sosial antara minoritas dan mayoritas serta mengidealkan budaya hanya sebagai “paket siap pakai” bukan sebagai praktik kompleks yang menyangkut masalah regenerasi, termasuk upaya pelestarian dan pemertahanan dalam masyarakat multietnis.
Yang perlu ditelaah lebih lanjut mengenai perbedaan etnis dan budaya dalam multikulturalisme adalah kecenderungan populer dan akademik yang menempatkan etnisitas sebagai suatu kepastian yang menggerakkan seluruh sistem sosial dalam suatu komunitas.
Fox dan Jones (2013: 386) mengungkapkan bahwa efek pemikiran tersebut adalah banyak studi tentang migrasi, diaspora dan transnasionalisme dalam kerangka multikulturalisme menganggap etnisitas sebagai kemutlakan esensial sehingga meniadakan faktor ketidaksetaraan ekonomi dan politik di masyarakat induk serta tidak mampu menangkap fleksibilitas dan dinamika dalam kehidupan internal etnis.
Kecenderungan menempatkan perbedaan budaya pada hakekatnya mengaburkan fakta ketimpangan ekonomi yang dialami diaspora, maraknya rasisme, dan proses Liyanisasi kelompok minoritas.
Kehidupan subjek diaspora dalam ruang multikultural metropolitan yang menuntut ketepatan strategi, pada akhirnya berkontribusi pada cara pandang mereka terhadap persoalan identitas yang selalu berada di ruang antara.
Dengan sengaja, mereka dengan teguh menyesuaikan diri dan membangun kesamaan dengan budaya kelompok dominan dan budaya etnik lain, sambil tetap mempertahankan perbedaan budaya (Moslund, 2010: 38-39).
Hibriditas intensional tersebut merupakan strategi yang diterapkan untuk mempertahankan dan memperkuat eksistensi diaspora sehingga mereka dapat berkontribusi dalam kehidupan multikultural yang diarahkan oleh pemerintah tuan rumah.
Dalam jangka panjang, terutama yang dialami oleh diaspora generasi kedua atau ketiga, kemandirian budaya menjadi tantangan yang signifikan bagi pemaknaan makna identitas kebangsaan dan nasionalisme.
Akibat liminalitas di ruang antara, persoalan identitas yang biasanya diarahkan dan ditentukan oleh kekuatan negara (asal) dengan memobilisasi keunikan bangsa dan peristiwa heroik dalam rangka membangun kebersamaan, solidaritas, dan rasa memiliki menjadi tertantang. oleh divergensi diaspora dari kehadiran budaya yang berbeda dan nilai-nilai baru yang berbeda (Král, 2009: 15).
Kondisi demikian berimplikasi pada sulitnya menggeneralisasi subjek-subjek diaspora hanya berdasarkan perbedaan dan keunikan etnis.Dengan ungkapan yang lebih kritis, Chae (2008: 2-3) mengidentifikasi beberapa kelemahan multikulturalisme seperti yang terjadi di Amerika Serikat.