Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Budaya dalam Perspektif Ideologi dan Kuasa

24 Februari 2023   00:13 Diperbarui: 25 Februari 2023   14:59 1234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertunjukan monolog di Jember. Dokumentasi Sun Teater SMA Muhammadiyah Jember

Dengan pendekatan etnografi, Ahimsa-Putra (1996) menulis satu tradisi yang menarik untuk dibaca lebih kritis lagi, yakni minawang, sebuah praktik kultural yang dalam masyarakat Sulawesi Selatan yang ditandai dengan hadirnya relasi patron-klien. 

Mengikuti pemikiran Scott, Ahimsa-Putra melihat bahwa salah satu faktor penyebab terjadinya minawang adalah kesenjangan kuasa yang cukup signifikan antara patron/kaum bangsawan (anakaraeng atau biasa disebut juga dengan punggawa) dan klien (orang-orang biasa, kelas subordinat). 

Anakaraeng merupakan keturunan raja yang berasal dari pernikahan dewa dan manusia. Mereka mempunyai keistimewaan, baik dalam harta kekayaan maupun pusaka (gaukang). Kombinasi antara modal ekonomi dan simbolik tersebut menghasilkan subordinasi bagi orang-orang biasa. 

Akibatnya beberapa orang biasa memberikan tenaganya untuk bekerja di tempat bangsawan dengan harapan mendapatkan imbalan. Untuk menunjukkan kebaikan, bangsawan sesekali memberikan bantuan ketika kliennya membangun rumah atau mengadakan hajatan. Pemberian hadiah ini dimaksudkan agar si orang tersebut tetap setia karena kepentingannya sudah dipenuhi oleh si bangsawan.

Tentu ini bukan keyakinan yang muncul tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses representasi dalam formasi diskursif yang melampaui batas-batas historis. Wajar kiranya, kalau kecintaan mereka terhadap Sultan begitu kuat, karena dia dianggap mampu memberikan pengayoman, kesejahteraan, dan membela kepentingan rakyat. 

Kalau sudah demikian, apakah hegemoni melalui budaya menjadi sebuah praktik kuasa yang jelek? Jawabannya tergantung kepada konteks keberadaan praksisnya di masyarakat. Yang harus dicatat hegemoni adalah moda kuasa yang tidak menekankan kekerasan, tetapi kepemimpinan berbasis kekuatan moral dan kultural dengan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelas subordinat. 

Ketika konsensus yang dibangun menghasilkan kemaslahatan bersama, maka hegemoni tidak menjadi persoalan dan akan mendorong lahirnya masyarakat sipil yang berdaya. Masyarakat yang secara aktif bisa mengkomunikasikan dan menegosiasikan kepentingannnya di dalam ruang-ruang publik yang selalu memposisikan kesederajatan sehingga kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan (Habermas, 2007). 

Tetapi, yang menjadi masalah adalah ketika dialog dalam ruang publik menghilang dan budaya sekedar menjadi pengelabuhan massa  yang menormalisasi dan mendepolitisasi kepentingan kuasa, maka di sinilah kuasa hegemoni perlu terus dikritisi.

Dari deskripsi singkat tersebut bisa dilihat bagaimana proses kuasa hegemoni berlangsung. Paling tidak, ada beberapa hal mendasar dari berlangsungnya moda kuasa hegemonik melalui budaya. Pertama, signifikansi ranah sosial-kultural, dimana kuasa dibangun, diwacanakan, dan dipraktikkan melalui interaksi sosial dengan dukungan wacana dan praktik kultural dalam sebuah masyarakat. 

Kedua, signifikansi formasi sosio-kultural, dimana kuasa dijalankan terus-menerus melalui institusionalisasi simbol dan modal yang dimiliki kelas dominan secara terus-menerus. Ketiga, terciptanya subjek-subjek sosial yang mengikuti ideologi kultural dalam formasi diskursif sehingga kuasa dari kelas pengarah tidak terbaca sebagai kepentingan tetapi kewajaran. 

Keempat, kepandaian kelas pemimpin dalam mewacanakan kepentingannya dengan melintasi bermacam kelas dan golongan sosial sehingga eksnominasi ideologi budayanya mampu menciptakan konsensus terus-menerus terhadap kuasanya. Moda kuasa tersebut bisa menjadi kekuatan positif ketika dibangun dari interaksi dan komunikasi kultural yang saling terbuka dan menguntungkan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun