Kuntowijoyo (2004), meskipun tidak secara spesifik mengkaji persoalan kuasa hegemonik, memberikan contoh menarik bagaimana Sunan Paku Buwono/PB X (1866-1939) di Surakarta menggunakan praktik-praktik konsensual untuk menyebarkan kekuasaannya kepada masyarakat di tengah-tengah ketidakberdayaannya dalam memerangi penguasa kolonial Belanda.Â
Untuk meraih simpati dan konsensus dari rakyatnya, PB X melanjutkan dua tradisi besar dalam masyarakat Surakarta, yakni tradisi Jawa dan Islam. Dua tradisi itulah yang sampai saat ini masih begitu mengakar dalam diri masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta.Â
Tradisi Islam diperkuat dengan praktik-praktik yang menunjukkan kebaikan Sunan kepada masyarakat dari semua golongan, semisal pada bulan Maulud (pada perayaan Grebeg Mulud) dia akan memberikan uang dua gulden bagi orang Arab, Benggal, Koja, Banjar, dan para haji yang berdzikir di masjid.Â
Dia juga memberikan beras kepada orang-orang yang dinyatakan miskin. Pada bulan Maulud juga diadakan tradisi Sekaten yang digelar untuk menghibur rakyat dengan pasar malam di alun-alun.Â
Praktik-praktik tradisi tersebut menjadi penanda dari kebaikan dari seorang PB X dalam memperhatikan kepentingan-kepentingan mendasar para kawula-nya sehingga akan menimbulkan konsensus dan loyalitas terhadap kebenaran kuasanya yang terus menyebar tanpa nama kepentingannya.
Di samping tradisi Islam, PB X juga terus memelihara dan menjalankan tradisi Jawa yang dipengaruhi ritual pra-Hindu/Budha maupun Hindu/Budha.Â
Terdapat ritual Mahesalawung, yakni sesaji berupa daging segala macam binatang seperti ikan, buaya, monyet, lutung, harimau, dan sebagainya yang dikirim untuk dipersembahkan kepada bangsa lelembut yang dirajai Betari Durga di hutan Krendawahana (Kaliyasa, Surakarta).Â
Keyakinan tentang kesaktian pusaka Kasunanan seperti Kyai Brajanala (haluan kapal), Nyai Setomi (meriam yang dapat mengeluarkan air mata), Kyai Sapujagad (meriam yang bila berbunyi sendiri menandakan kemusnahan dunia), Kyai Ageng Salengat atau Kyai Slamet (keris yang bila dibawa keliling akan menghilangkan penyakit), gamelan sekaten, beringin kembar, dan gajah, juga tetap dipelihara.Â
Wacana kesaktian pusaka-pusaka tersebut terus disebarluaskan kebenarannya sehingga PB X selalu mendapatkan legitimasi kultural karena kekuasaannya didukung oleh benda-benda yang mempunyai kesaktian.Â
Itu semua menjadikan rakyat tetap tunduk dan mematuhi kekuasaannya dan mereka tetap bangga terhadap pimpinannya sembari terus melestarikan budaya-budaya yang diyakini membawa kemaslahatan bersama tanpa keberanian untuk mempertanyakan kebenarannya.Â
Meskipun sekarang Kasunanan Surakarta sudah tidak punya otoritas politik, tetapi otoritas kulturalnya tetap diagungkan oleh masyarakat Surakarta.