Atau mungkin juga memunculkan subkultur yang tidak merubah budaya lama, tetapi mengganggunya dengan praktik-praktik dan wacana baru yang berasal dari budaya lama atau budaya luar, tetapi dengan pemaknaan dan tampilan yang diperbarui demi kepentingan resistensi.
Munculnya kontra-hegemoni melalui praktik dan wacana kultural, bukan dimaksudkan sebagai penegasian faktor-faktor lain seperti ekonomi, politik, dan agama karena wacana dan praktik yang ada dalam ketiga faktor tersebut memang tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan masyarakat.
Artinya budaya dan ketiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak harus dipisah-pisahkan karena mereka memang memiliki hubungan yang bersifat resiprokal satu sama lain.
Lebih dari itu budaya,dalam hal ini adalah tradisi, ritual, norma, kesenian, maupun bahasa, menjadi faktor signifikan dalam mempengaruhi keberhasilan resistensi dalam ketiga faktor tersebut, karena wacana dan praktik kultural biasanya lebih bisa diterima oleh masyarakat ketimbang dalil-dalil dogmatis yang cenderung menggurui.
Ketika blok historis baru tidak mampu menyebarkan praktik dan wacana kultural resisten secara ajeg ke dalam kesadaran dan imajinasi masyarakat, kemungkinan besar, wacana dan praktik ekonomi, politik, dan agama yang dikonseptualisasikan hanya akan mandeg sebatas dogma-dogma retoris yang tidak bisa mempengaruhi alam pikiran dan tindakan anggota masyarakat.
Terus Membaca Budaya: Simpulan
Sudah terlalu lama, penelitian budaya, baik yang berada dalam payung antropologi, sosiologi, maupun kajian etnisitas, lebih banyak berkutat pada persoalan “identitas budaya beku” dengan fokus kajian pada karakteristik kultural yang sudah taken for granted.
Akibatnya kajian budaya menjadi alat bedah struktur dan pola budaya khas yang ada masyarakat partikular tanpa banyak membicarakan relasi dan kepentingan kuasa yang ada di dalamnya.
Selama berabad-abad kajian ini sudah menemukan kemapanan akademisnya. Ketika kajian budaya menjadi begitu populer dengan kajian berperspektif ideologi-kuasa, wajar kiranya kalau banyak para ilmuwan dari disiplin-disiplin tersebut yang merasa kebakaran jenggot dan terganggu eksistensinya (Rosaldo, 1993: 26-33).
Ke depan, pertentangan-pertentangan tersebut tidak harus selalu dipertanyakan karena hanya akan menguras tenaga dan cenderung masuk ke dalam debat kusir tentang paradigma maupun disiplin. Sebaliknya, perspektif kajian budaya bisa semakin menjadikan keragaman bagi disiplin-disiplin yang sudah mapan sebelumnya.
Begitupula kemapanan analisis dan hasil riset dari disiplin-disiplin tersebut bisa semakin memperkaya perspektif cultural studies yang selama ini memang lebih banyak bergerak dalam ranah budaya/media populer.