Dari sinilah bisa ditelusuri ketertakaitan pemikiran Bordieu dengan Foucault tentang wacana (discourse). Dalam pemahaman Foucauldian, wacana (discourse) yang merupakan sekelompok pernyataan untuk berbicara (sebuah cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang) topik tertentu pada momen historis tertentu: sebuah produksi pengetahuan melalui bahasa.Â
Dari wacana itulah subjek-subjek dalam masyarakat menyandarkan pikiran dan tindakannya, apalagi ketika wacana tersebut disebarkan dalam formasi diskursif (discurssive formation), sehingga akan menjadi menjadi rezim kebenaran (regime of truth) yang diintrodusir terus-menerus dalam bentuk pengetahuan  (Foucault, 2002: 50-52, 177, & 190).
Contoh sederhana dari pemikiran di atas adalah persoalan gender. Perbedaan peran domestik perempuan dan peran publik laki-laki, bukanlah pembagian yang semata-mata berdasarkan pada perbedaan jenis kelamin. Martin (dikutip dalam Risman, 2007), menjelaskan bahwa persoalan ketimpangan gender adalah sebuah produk dari proses sosio-kultural yang berlangsung secara ajeg.Â
Gender mempunyai karakteristik: (1) terjadi dalam praktik kehidupan sehari-hari; (2) menentukan dan membatasi perilaku para subjek; (3) berlangsung atas nama tradisi, norma, maupun harapan; (4) melibatkan agen-agen atau aparatus yang bekerja dan mewujud dalam lingkungan terdekat subjek; dan, (5) melibatkan kekuasaan dalam transformasinya.Â
Maka, para perempuan dalam masyarakat tertentu akan berada dalam posisi subordinat karena beragam batasan sosio-kultural dan yang dalam banyak kasus juga bercampur dengan dogma agama yang selalu mengawasinya, sehingga dalam prosesnya ia sendiri akan menganggap itu semua sebagai kewajaran yang memang harus dijalani.
Dalam proses penyebaran doksa atau wacana kultural mensyarakatkan apa yang oleh Foucault disebut sebagai jejaring wacana yang melalui pihak dan aparatus-aparatus tertentu seperti institusi, regulasi, hukum, administrasi, dan moralitas, akan terus mewajarkan wacana tersebut ke dalam pembicaraan maupun praktik yang ada dalam masyarakat.
Lebih jauh lagi, Â dan membentuk semacam pengetahuan sehingga tidak ada subjek sosial yang bisa keluar dari jejaring tersebut (Foucault, 1980: 194-196). Proses penyebaran wacana itulah yang berhasil memunculkan makna-makna kultural ke dalam kesadaran dan imajinasi warga masyrakat sehingga akan sulit keluar dari wacana dan praktik kultural yang sudah mapan dalam masyarakat.Â
Proses produksi dan penyebaran makna kultural dalam perspektif kajian budaya disebut sebagai representasi (Hall, 1997a). Representasi dalam tradisi memang lebih banyak berkutat dalam pewacanaan makna kultural secara simbolis melalui bahasa, terutama dalam teks tulis, foto, maupun film yang ditujukan bagi penciptaan subjek yang akan patuh terhadap kemapanan praktik dan wacana kultural yang ada di dalam masyarakat.Â
Bahasa, dalam segala bentuknya, menjadi media utama dalam proses representasi karena tidak ada subjek yang bisa keluar dari lingkaran bahasa yang mana darinya ia akan belajar menyesuaikan diri dengan kebiasaan, wacana, dan praktik dalam formasi sosial yang ada di sekitarnya (Sarup, 1988: 7).Â
Dengan bahasa itulah, ia akan mengenal dunia dan mampu membangun sebuah relasi sosial dengan manusia lain yang juga menggunakan bahasa yang sama. Wacana dengan bahasa dengan demikian menjadi kekuasaan yang mendisiplinkan warga masyarakat.