Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Film, Sensor, dan Paradoks Budaya Bangsa

8 Februari 2023   00:15 Diperbarui: 9 Februari 2023   00:01 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sukarno berfoto bersama Eric Johnston, Ann Francis, Ann Miller, dan Dore Schary saat di Amerika Serikat. Sumber: Wikimedia Commons

Selama ini pendidikan kita, dari TK hingga perguruan tinggi, selalu menekankan kadiluhungan budaya bangsa di tengah-tengah pengaruh budaya asing dalam lingkaran globalisasi. 

Keadiluhungan seolah menjadi “kata suci” yang tidak bisa diganggu gugat oleh bangsa ini. Padahal dalam keadilihungan itu, sebenarnya banyak bercokol kepentingan-kepentingan kuasa dari kelas penguasa feodal, kolonial, hinggal pascakolonial. 

Membongkar budaya bukan berarti menghancurkan budaya bangsa dan menggantikannya dengan budaya asing. Membongkar budaya adalah proyek masa depan yang selalu berusaha kritis terhadap terma budaya bangsa yang di dalamnya terdapat hasrat kuasa dan memapankan kuasa. 

Banyak kearifan- kearifan lokal yang berkembang dalam masyarakat biasa yang sebenarnya bisa dibuka kembali untuk menggantikan konsep budaya adilihung produk keraton maupun istana yang dulunya berkolaborasi dengan penguasa kolonial. 

Kearifan- kearifan masyarakat biasa itulah yang selama ini disisihkan karena mereka dianggap “bodoh”, “dungu”, dan “kurang berbudaya” hanya karena mereka tidak mempraktikkan tata cara dan kesopanan ala keraton. 

Masyarakat biasa telah mempunyai strateginya sendiri untuk mengambil dari aspek-aspek kemajuan, baik secara teknik maupun kualitas isi, baik dari Barat ataupun negara-negara Asia yang lebih maju, sembari terus menikmati kekayaan tradisinya yang terus bertransformasi dalam perubahan ruang dan waktu. 

Mereka sepenuhnya sadar untuk berubah sehingga ketakutan dari para penjaga moral terlalu berlebihan. Semua elemen masyarakat, baik birokrat, pendidik, seniman, sastrawan, maupun sineas film, harus menyadari persoalan tersebut sehingga bangsa ini tidak lagi menjadi bangsa yang “dibodohkan” demi ketakutan sepihak dari rezim. 

Para sineas, sebenarnya punya potensi besar untuk menyemarakkan proyek pembongkaran budaya tersebut. Mereka sudah saatnya memikirkan beragam potensi budaya maupun ideologi dari masyarakat biasa, tanpa harus melulu terjebak dalam budaya perkotaan—di samping melanjutkan proses idealis untuk merubah kebijakan perfilman. 

Pembongkaran budaya, sejatinya, lebih menjanjikan ketika mereka hendak mencari pembebasan karena dengan menyuguhkan kebudayaan rakyat biasa mereka bisa lebih memperluas eksplorasi filmis untuk menemukan metafor-metafor baru yang lebih beragam dan tidak sekedar representasi perilaku menyimpang warga kota, yang selama ini banyak dianggap berbahaya oleh LSF. 

Di samping itu, ketika mereka terjebak melulu pada eksplorasi budaya perkotaan, mereka sebenarnya juga sudah berusaha melakukan penawaran baru pengetahuan budaya nasional yang ada di kota. 

Artinya, mereka mencoba untuk menghegemoni kesadaran dan imajinasi penonton, baik yang tinggal di kota maupun di desa, dengan formasi diskursif kebudayaan yang hanya terjadi di kota. Tentu ini bisa menjadi rejim kebenaran yang baru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun