Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ekokritisisme: Masalah Lingkungan dalam Teks Sastra dan Budaya

23 Januari 2023   05:00 Diperbarui: 23 Januari 2023   15:34 1358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Binatang liar di Afrika, dari buku Seven Years in South Africa. Sumber: Wikimedia Commons

Praktik kolonialisme Eropa di Asia, Afrika, dan Amerika ikut berkontribusi bagi munculnya perubahan lanskap alam dan permasalahan ekologis karena eksploitasi hutan untuk usaha pertanian dan perkebunan seperti kapas, kakao, karet, juga industri pertambangan yang jelas-jelas ikut mengubah lanskap wilayah jajahan (Ross 2017). 

Manusia-manusia rasional Eropa melampaui rasa takut mendatangi tempat-tempat baru yang mereka klaim sebagai wilayah taklukan; membuat batas yang melindungi koloni-koloni baru mereka dari gangguan warga pribumi irasional. 

Cover novel Robinson Crusoe. Sumber: Macmillan Publishers
Cover novel Robinson Crusoe. Sumber: Macmillan Publishers

Kisah Robinson Crusoe (Defoe, 1719) yang terkenal itu, setidaknya, memberikan gambaran bagaimana manusia Eropa dengan logika modern masuk ke jantung peradaban Timur; menguasai alam serta menaklukkan manusia dan budayanya. 

Boehmer (2005: 18) memosisikan Robinson Crusoe sebagai teks paradigmatik awal yang menuturkan pengalaman kolonial Eropa secara apik. Seorang pelaut terdampar di sebuah pulau terpencil, untuk menangkal rasa cemas tentang hal yang tidak diketahuinya, ia membangun pemukiman kecil. 

Ia mengklaim memiliki tanah itu, membangunnya berdasarkan tradisi Protestan serta memagarinya dengan pagar tinggi. Crusoe membuat konvensi dan aturan berdasarkan ingatannya, menggunakan alat yang ia selamatkan dari kapalnya yang hancur. Dalam ketiadaan masyarakat, menulis jurnal menjadi caranya mengobjektisikasi dan mengkonfirmasi realitas di sekitarnya.  

Ia juga melatih burung beo-nya berbicara dengannya dengan memanggil namanya sendiri. Tentu saja, baik burung beo maupun rumah sederhananya tidak mampu mencipta-ulang pengalaman akan rumah. 

Pagar yang melindungi mendeklarasikan kerapuhannya. Tak masalah seberapa sering Crusoe, layaknya kolonialis, menegaskan realitas dirinya dan memapankan haknya terhadap ‘kerajaan’ di pulau yang ia tempati, yang tidak diketahui tetap memunculkan kecemasan, direpresentasikan oleh rasa takutnya terhadap kanibalisme. 

Ini menjelaskan tujuan Crusoe untuk menjadikan salah satu penyintas dari ritual kanibal yang ia beri nama “Friday” sebagai diri yang akan memberikan penjelasan tentang hal-hal yang belum diketahuinya. 

Dalam nalar manusia kulit putih, wilayah asing yang sesungguhnya sudah ada penghuninya pun bisa diklaim sebagai kekayaan mereka, termasuk di dalamnya adalah kekayaan alam dan manusi-manusia pribumi-kanibal

Betapa banyak kerusakan alam, penderitaan manusia, dan eksploitasi ekonomi yang berlangsung di era kolonial. Namun, sekali lagi, kondisi itu tidak diungkapkan. Konstruksi ideologi “pemagaran/pembatasan wilayah” ala Crusoe menjadi trend yang berkembang dalam sastra Inggris pada abad ke-18 hingga ke-19 ketika kekuatan kolonial sedang mengkosolidasi dirinya di muka bumi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun