Memang benar, koploan di tengah-tengah gending pakem akan merusak tatanan estetik yang sudah terbangun sejak zaman dahulu, tetapi kalau tidak dilakukan, para pengibing pemula sebagai penerus tidak akan mau masuk ke kalangan.Â
Kalau kondisi tersebut dibiarkan, maka generasi penerus pengibing lambat-lau akan habis. Lebih jauh, kelenturan dalam mengadopsi trend estetik baru bisa menjadikan pertunjukan tayub 'tidak ketinggalan zaman'.
Selain adaptasi-kreatif terhadap trend dangdut koplo, para pengelola paguyuban tayub di Lamongan yang tersebar di Kecamatan Kembangbahu, Bluluk, dan Sukorame juga memasukkan unsur atraktif dalam bentuk pesta kembang api dan mercon udara sebelum pertunjukan pada malam hari dimulai.Â
Rupa-rupanya, mereka terinsipirasi dari pesta kembang api yang biasa ditayangkan dalam konser musik di televisi, khususnya menjelang tahun baru.Â
Selain menghadirkan nuansa kemeriahan yang modern, pesta kembang api dan mercon udara diadakan untuk menghibur para penonton dari kategori anak-anak dan remaja, meskipun tidak menutup kemungkinan penonton dewasa juga sangat terpukau oleh atraksi tersebut.Â
Atraksi kembang api dan mercon, senyatanya, mampu membuat pertunjukan tayub di ruang desa semakin menampakkan ke-glamor-annya. Memasukkan cita-rasa modern ke dalam pagelaran (yang masih diposisikan sebagai) tradisi menjadi laku transformatif lain yang dilakukan para seniman dan pengelola tayub.Â
Laku transformatif ini tentu saja bersifat parsial, di mana selera warga desa terhadap pertunjukan kembang api seperti yang ditayangkan di televisi dalam pergantian tahun baru, misalnya, diartikulasikan dalam pesta kembang api sebelum pertunjukan tayub di malam hari dimulai.Â
Berbeda dengan masuknya estetika dangdut koploan, tambahan pesta kembang api sama sekali tidak berpotensi merusak pakem tayub karena sekedar memunculkan suasana meriah dan glamor.
Daftar Bacaan
Hanna, Judith L. 1988. Dance, Sex, and Gender: Sign of Identity, Dominance, Defiance, and Desire. Chicago: University of Chicago Press.