Selain itu, restu tersebut juga bisa menghindarkan suami-istri dari pertikaian akibat keintiman penayub dengan tandhak di terob. Ketika saya bertanya kepada Supat, 45 tahun, pada acara tayuban dalam rangka nyadran di Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan, perihal restu dari istrinya, dengan cekatan ia menjawab:Â
"Tenang, saya sudah izin kepada istri dan dia tidak masalah, pokoknya ndak habis uang terlalu banyak. Maklum, putra kami sudah kuliah. Kalau masih wajar, ya sekira 500 ribu, ndak apa-apa. Hitung-hitung untuk refreshing, setahun sekali. Setelah acara ini, jual soto dan pecel lele lagi, biar balik uangnya." (2 Agustus 2014).Â
Terlepas apakah istrinya ikut merasa bangga atau tidak bangga ketika suaminya menari, restu dari istri merupakan hasil dari negosiasi antara mereka berdua agar kepentingan lain yang lebih besar (semisal membiayai kuliah anak) tidak terganggu.Â
Tentu saja, Supat bisa merasakan kebanggaan sebagai lelaki dewasa yang ikut meramaikan pertunjukan tayub, sampai-sampai ia rela menghabiskan Rp. 500.000. Lebih dari itu, ungakapan refreshing menjadi penanda betapa tayub juga berfungsi sebagai medium relaksasi dari rutinitas berjualan soto dan pecel lele (di Yogyakarta).
Transformasi kebanggaan sosial bagi para penayub (tukang bekso) semakin menguat di era 2000-an, ketika semakin banyak warga desa usia produktif yang merantau ke kota-kota besar di Indonesia untuk mencari rezeki.Â
Di banyak desa di Lamongan, misalnya, banyak pemuda dan warga usia dewasa yang berjualan soto, pecel lele, dan seafood, di Surabaya, Yogyakarta, Solo, Semarang, Bogor, Bandung, Jakarta, serta beberapa kota di Sumatra, Sulawesi, Nusa Tenggara, hingga Papua. Selain untuk mengubah nasib dengan cara mencari rezeki halal, mereka juga mampu melakukan mobilitas kelas.Â
Menariknya, meskipun secara ekonomi mereka mengalami peningkatan yang cukup signifikan yang ditandai dengan bangunan rumah berarsitektur kota serta kepemilikan sepeda motor, mobil, dan sawah, secara kultural mereka tetap memosisikan tayub sebagai hiburan komunal yang harus selalu dinikmati.Â
Biasanya, satu hingga dua minggu pasca lebaran, mereka akan iuran untuk menggelar pertunjukan tayub. Keikutsertaan dalam 'menyeponsori' pagelaran tayub akan memunculkan kebanggaan tersendiri. Â
Bagi para penjual soto Lamongan di kota-kota besar, pertujukan tayub menjadi situs yang menghubungkan subjektivitas lentur; kegemaran kultural bersifat tradisional sebagai pengikat memori kolektif dan identitas komunal-desa dengan capaian-capaian ekonomi modern di metropolitan.Â
Melalui pertunjukan tayub mereka menemukan-kembali ingatan masa kecil, masa muda, dan masa-masa sebelum mereka merantau ke kota untuk mengadu nasib.Â
"Kami bekerja siang dan malam di kota, berjualan soto, kami butuh tayub untuk melepaskan rasa lelah sekaligus untuk selalu mendekatkan kami dengan suasana desa," begitu ujar Supriyo, warga Dusun Sambiroto, Sugio, Lamongan, yang berjualan soto di wilayah Jalan Magelang Yogyakarta (Wawancara, 2 Agustus 2014).Â